Perjuangan sang bunga matahari

Perjuangan sang bunga matahari

Mei Li memperhatikan Thai Yang sering mengunjungi sekolah kecil mereka. Dan tentunya hal tersebut membuat hati Mei Li semakin gembira. Selama lima bulan ini

dia berusaha mendekati Thai Yang dan semakin hari semakin disadarinya perhatian Thai Yang bukan untuknya. Dia berusaha memperjuangankan cintanya dan yakin

akan berhasil

Mei Li meletakkan sebuah buku yang berisi cerita yang sangat disukainya, Legenda Bunga Matahari. Suflower’s Legend yang ditulis oleh seorang penulis dari

negeri seberang Sun_flowers. Buku cerita itu dibawakan oleh ayahnya dari perjalanan dagang melintasi samudera yang sangat berbahaya. Dia diajari cara membaca

buku itu oleh salah seorang penasehat ayahnya.

Seorang pria tua yang berpengalaman, menguasai banyak bahasa salah satunya adalah bahasa dari negeri jauh itu. Walaupun ayahnya tidak menyetujui Mei Li

mempelajari bahasa negeri tersebut. Mei Li tidak peduli, dia terlanjur jatuh cinta dengan cerita Sun Flower Legend.

Legenda Bunga Matahari, sebuah kisah yang beredar turun temurun. Kisah tentang cinta sang gadis kepada seorang pria. Kisah tentang pengorbanan sang gadis

demi kesembuhan pujaan hatinya. Menanam seribu bunga matahari dan jutaan doa untuk sang pria. Walau akhirnya cintanya tersampaikan kepada sang pujaan hati,

tapi semua telah terlambat. Mereka tidak berakhir bahagia, ajal lebih dulu bercerita.

Namun dia tidak ingin berakhir seperti cinta si gadis bunga matahari, hanya menatap sang mentari tanpa bisa mengapai dan memilikinya. Aku tidak akan terus

memendam rasa ini. Untuk apa hanya melihat tanpa dapat merasakan cinta itu?

Mei Li meyakinkan dirinya, untuk mencapai tujuan dia harus melakukan segala hal. Semua bentuk pengorbanan akan dilakukan untuk memenangkan cinta dari Thai

Yang. Dan satu hal yang pasti, Ting-Ting tidak pernah menaruh hati kepada Thai Yang. Hati dan cintanya telah habis untuk Xio Yu.

Siang ini Thai Yang kembali datang ke sekolah desa Hun Nan. Mei Li sudah merasakan kehadiran pria itu sejak Thai Yang menapakkan kaki di halaman depan. Dia

bisa merasakan aroma dan aura dari si Mata Elang.

Mei Li menyambutnya dengan senyum penuh cinta yang tidak pernah dimengerti oleh Thai Yang, yah .. cinta bertepuk sebelah tangan. “Selamat siang Thai Ke,”

mereka diminta untuk tidak memanggil dengan sebutan pejabat Thai selama tidak berada dalam lingkungan pemerintahan resmi.

“Mei Li, hari ini kamu terlihat sangat ceria. Apakah ada harta karun yang terpendam di sini?” Thai Yang mengoda Mei Li.

“Yah .. ada harta karun,” Mei Li memberikan senyum terbaiknya.
“Hem .. di mana letak harta karun itu?” Thai Yang menatap ke dalam ruang kelas, dan yakin harta karun desa Hun Nan adalah Ting-Ting yang baik hati.
“Rahasia!” ucap Mei Li dengan senyum lebar penuh rahasia. Baginya harta karunnya adalah senyum dan kebahagiaan Thai Yang.

====

Mei Li mempersilahkan Thai Yang masuk ke ruang perpustakaan. Ruang perpustakaan adalah ruangan tempat mereka menaruh peralatan dan buku-buku pelajaran. Juga

sebagai tempat bersantai para pengajar.

Tak lama setelah mereka memasuki ruang perpustakaan, seorang murid berlari masuk, “Nona Mei Li, tuan besar Hu berada di halaman depan. Dia mencari Nona

Ting-Ting.”
Wajah Mei Li terlihat panik. Dia bingung dan mencoba mencari cara, hanya saja saat ini akalnya tidak dapat bekerja dengan baik.

“Aku mohon! Tahan Tuan besar Hu. Jangan tanyakan alasannya,” Mei Li menatap Thai Yang kebingungan. Tatapan memohon dari Mei Li membuat Thai Yang menganggukan

kepala.
“Katakan saja saat ini Ting-Ting sedang berkunjung ke rumah Tetua Ong” teriak Mei Li lagi.
“Aku akan segera menjemput Ting-Ting,” saat berlari keluar Mei Li menarik Cen Hui murid kesayangan mereka. Seorang gadis kecil yang manis dan baik hati.

Dia menyadari alasan yang diberikan kepada Thai Yang mungkin bisa membuat rahasia mereka bocor. Bisa saja Tuan besar Hu baru saja datang dari rumah Tetua

Ong. Jadi sebuah rencana cadangan harus segera dipikirkan. Dan yang melintas di otaknya saat dia melihat Cen Hui yang baru saja tiba di sekolah adalah

rencana cadangan yang terbaik.

“Cen Hui, bisakah saya meminta bantuanmu?” segera saja pertanyaan Mei Li dijawab dengan anggukan kepala sepenuh hati.
‘Baiklah, ini adalah rahasia. Kamu harus kembali ke rumah dan berpura-pura sakit. Bukankah pada jam segini ayah ibumu sedang berada di ladang? Mereka tidak

akan tahu kalau kita berbohong. Berusahalaah terlihat seperti sedang batuk,” Mei Li menunggu jawaban Cen Hui.

“Baiklah Nona Mei Li, saya akan kembali ke rumah dan berpura-pura sedang sakit kepala dan batuk. Karena itu saya tidak bisa masuk sekolah. Dan nona Ting-Ting

yang berbaik hati membawakan saya obat, apakah itu rencananya?” Mei Li tersenyum puas. Ternyata anak kecil ini sangat bisa diandalkan. Dia bahkan telah

mengambil kesimpulan sendiri, bahkan sebelum Mei Li mengambil langkah untuk rencana selanjutnya.

“Kami bergantung pada bantuanmu Cen Hui,” Cen Hui mengambil tas dan sepatu kainnya. Dia segera memakai sambil berbicara dengan Mei Li.
“Demi ke-dua Nona yang baik hati, apapun akan Cen Hui lakukan,” setelah itu Cen Hui dan Mei LI segera berlari melalui pintu belakang. Sementara Cen Hui

berlari sekuat tenaga menuju rumahnya, Mei Li memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.

=====

Thai Yang berharap Mei Li menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja pikirannya harus berhenti sejenak. Dia melihat Tuan besar Hu diantar oleh

seorang murid menuju ruang perpustakaan. Thai Yang menerima salam hormat sebagai pejabat.

“Mari duduk tuan Hu,” Thai Yang mengambil posisi di sebelah kiri, seorang murid masuk membawakan teh yang baru diseduh untuk ke-duanya.
“Senang sekali bisa bertemu dengan pejabat Thai di sini. Saya sering mendengar dari Ting-Ting dan Mei LI kalau Pejabat Thai sangat mendukung sekolah ini.”

Thai Yang hanya tersenyum mendengar ucapan penuh hormat dari Tuan besar Hu.

Apakah ini kesempatan baginya untuk mendapatkan ijin dari Tuan besar Hu. Dia merasa harus meminta ijin dahulu dari ayah dari anak gadis yang ingin di dekati.

Kalau bisa saat ini juga Thai Yang ingin segera meminang Ting-Ting.

“Sudah menjadi kewajiban saya untuk mendukung pendidikan serta segala kegiatan yang dapat memajukan kesejahteraan penduduk desa Hun Nan.” Dia terdiam

sejenak. Menimbang-nimbang.
“Bolehkah saya bertanya mengenai Ting-Ting?” Thai Yang tidak dapat menahan hatinya.

Wajah Tuan besar Hu bersinar cerah, dia memang mengharapkan Pejabat Thai berjodoh dengan putri bungsunya. Hanya saja dia juga harus memikirkan dua anak

gadisnya yang berada di atas Ting-Ting, keduanya masih belum mendapatkan lamaran.

“Silahkan saja pejabat Thai bertanya, apapun akan saya jawab,” Tuan besar Hu merasa kalau dia terlalu menunjukkan maksudnya.
“Bila Ting-Ting bersikap kurang ajar atau lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai guru sekolah ini, maka saya akan menghukumnya,” Tuan besar Hu segera

menambahkan.

“Bukan! Tidak ada yang salah dengan tingkah lakunya. Dia sempurna,” Thai Yang tidak dapat menahan perkataannya. Sudah terlanjur terucap.
“Maksudku, putri Tuan Hu sangatlah istimewa. Dan menjadi kebahagiaan bagi saya bila diperbolehkan untuk mengenalnya lebih dekat,” wajah Tuan besar Hu

memancarkan kebahagiaan yang sangat saat mendengar permintaan pejabat Thai.

“Putri saya hanyalah seorang gadis biasa. Tentunya tidaklah cukup baik untuk Pejabat Thai. Anda adalah kesayangan Raja dan merupakan pejabat terbaik,” Tuan

besar Hu memainkan taktik tarik ulur. Hanya saja kali ini dia yakin tangkapannya adalah yang terbesar dari semua yang pernah ada.

“Putri anda adalah mutiara yang indah. Saya harap Tuan Hu mengijinkan saya mengenalnya lebih dekat,” sekali lagi Tuan besar Hu tersenyum puas.
“Saya dengan senang hati memperbolehkan Pejabat Thai mengenalnya lebih dekat, hanya saja alangkah lebih baiknya bila pengenalan itu dilakukan saat kalian

berdua telah terikat pernikahan,” Thai Yang merasa impiannya terkabulkan. Dia bisa memiliki Ting-Ting.

“Jika memang itu yang terbaik, hari ini juga saya akan menyiapkan lamaran untuk putri anda,” Tuan besar Hu yakin ikan kali ini tidak akan pernah lepas dari

jalanya. Dia memainkan taktik terbaik untuk ketiga putrinya.

“Saya akan merasa tersanjung dengan maksud hati Pejabat Thai. Hanya saja, sayang sekali saat ini masih ada dua kakak Ting-Ting yang belum menikah. Dan kalau

boleh saya meminta kebaikan hati Pejabat Thai, maukah anda menunggu barang tiga atau empat bulan? Saya akan mempersiapkan pernikahan mereka berdua juga. Jadi

setelah itu pejabat Thai bisa segera melamar Ting-Ting,” Thai Yang tersenyum dan segera bersalaman dengan Tuan besar Hu.

Mereka meneruskan pembicaraan itu sambil berkuda menuju kediaman Thai Yang. Tujuan awal Tuan besar Hu menemui Ting-Ting sudah terlupakan. Tujuan Thai Yang

untuk menatap bunga musim seminya tergantikan dengan janji pasti dari ayah pujaan hatinya.

Akhir empat Bulan Penantian.

Derap kuda memasuki halaman sekolah. Mei Li melompat dari kuda, setelah itu dia segera membantu Ting-Ting. Matanya mencari murid yang diperintahkannya untuk

menemani tamu. Mei Li dan Ting-Ting berlari menuju perpustakaan. Wajah mereka terlihat bingung saat mendapati ruangan itu telah kosong.

Astaga! Apakah aku telah membuat ayahku marah?” Ting-Ting menatap Mei Li, berharap ada sedikit keceriaan yang bisa dibagi.
“Tenang saja, aku telah meminta Thai Ke untuk menemani dan mengalihkan perhatiannya sementara,” Mei Li berbicara sambil mencari nafas. Dia telah menunggang

kuda dengan kecepatan tinggi hanya untuk mendapatkan usahanya sia-sia. Sebenarnya dia juga tidak berharap perlu menghadapi ayah Ting-Ting.

Seorang murid masuk dan memberi hormat. “Bun Han, bukankah aku menyuruhmu untuk menemani tamu?” Mei Li berkata dengan keras.
Terlihat wajah bocah laki-laki itu pucat, “mereka mengatakan ada pembicaraan penting, sehingga aku diperintahkan untuk keluar. Setelah itu Pejabat Thai dan

Tuan besar Hu pulang. Mereka meminta aku menyampaikan bahwa ada urusan yang lebih penting yang harus mereka selesaikan,”

Mei Li menatap Ting-Ting. “Mereka pergi?” Bun Han mengangguk kemudian menambahkan dengan ccepat “Keduanya berbicara sambil tertawa terbahak-bahak. Sepertinya

suasana hati Tuan besar Hu dan Pejabat Thai sangat gembira,”

Mei Li dan Ting-Ting melepaskan ketegangan yang menghantui mereka. Setelah Bun Han keluar dari ruangan, Mei Li segera menarik tangan Ting-Ting. “Ceritakan

padaku, bagaimana rasanya?”
Ting-Ting terlihat bingung, dia menatap Mei Li dengan heran, “apa yang hendak kau tanyakan? Rasa apa? Yang kurasakan sedari tadi adalah ketakutan. Aku takut

ayahku marah atau rahasia kita terbongkar.”

“Bukan itu! Ciuman pertamamu!” Mei Li menatap dengan penuh harap. Wajah Ting-Ting bersemu merah, matanya tidak berani membalas tatapan Mei Li.
“Seperti apa rasanya? Aku belum pernah!” Mei Li mendesak.
“Ayolah Ting Ce, berbagi padaku rahasia ini. Tidakkah kau tega melihat aku mati penasaran?” Mei Li mulai melancarkan jurus merajuknya.

“Bukan hal mudah untuk menjelaskannya,” Mei Li terdiam, menunggu kelanjutan dari cerita Ting-Ting.
“Lalu? Kau sangat pandai merangkai kata. Rangkaikan dengan puisi-puisi indahmu,” Mei Li terlihat frustasi. Keingin tahuannya terlalu besar. Dia pernah

mendengar kalau ciuman itu sangat indah, jikalau keduanya saling mencintai.
Tapi saat pelayan pribadinya yang pernah diperkosa oleh sang majikan lama, menceritakan mengenai persetubuhan serta ciuman yang dialaminya. Hanya rasa jijik

dan amarah yang ada.

“Rasanya jantungku berhenti berdetak,” Ting-Ting kembali berpikir.
“Otak dan hatiku tidak sejalan. Saat akal sehatku meminta aku untuk berhenti, hasratku menarikku semakin masuk,” sekali lagi dia mencoba mengambarkan rasa.
“Terlalu menyesakkan. Melelahkan jiwa dan hatiku. Tapi aku ingin mencobanya lagi,” Ting-Ting tersenyum, sepasang matanya berbinar.

“Ah .. Ting Ce. Kapan aku bisa merasakan ciuman penuh cinta?” Mei Li terlihat merana.
“Thai Ke, tidak menunjukkan minat terhadapku. Apa perlu aku yang mulai melancarkan serangan padanya? Menurut cerita Selir Liang Hwa, selir yang di ambil dari

lembah pelacuran itu dia mendapatkan Kaisar dengan cara memasang perangkap godaan,” mata Ting-Ting membelalak tidak percaya. Kepalanya menggeleng dengan

cepat.

“Jangan! Jangan pernah kau berpikir untuk melakukan itu!” Ting-Ting mencoba menyadarkan Mei Li dengan menguncang-guncangkan tubuhnya. Seakan akal sehatnya

juga bisa kembali.
“Iya, hentikan. Aku akan mengunakan cara yang lebih halus. Tidak perlu membuka pakaian di hadapan Thai Ke seperti yang dilakukan Selir Liang Hwa, mungkin

cukup mengenakan pakaian yang sedikit terbuka,” seringai jahil terlihat di wajah Mei Li. Ucapan Mei Li membuat Ting-Ting terkejut.

=====

Ting-Ting melempar padangan ke kedai tahu milik Xio Yu. Sudah memasuki bulan ke-tiga mereka berpisah, perpisahan yang menguras seluruh rindunya. Tapi

Ting-Ting tahu hanya dengan cara ini mereka dapat bersatu. Dua lembar surat dari Xio Yu terus menemaninya.

Ternyata pertarungan memperebutkan kursi sebagai Koki Sang Naga sangatlah melelahkan. Xio Yu hanya dapat menulis surat kepadanya sebulan sekali. Dan hari ini

Ting-Ting berharap surat ke-tiga akan tiba hari ini. Pikirannya kacau dan hatinya risau, hanya untaian kata dari Xio Yu yang dapat mengobatinya.

Seharusnya hari ini dia membantu Kakak ke delapan, Min-Min yang akan menikah esok hari. Sepertinya ayah sedikit terburu-buru dalam mencarikan jodoh untuk Min

Ce. Seorang saudagar yang lebih muda empat tahun dari Min ce yang akan menjadi pasangan hidupnya.

Min ce terlihat gembira menerima putusan dari Ayah. Selanjutnya tentu saja perjodohan Ling ce akan diatur. Ting-Ting berharap perjodohan Ling ce tidak akan

berlangsung dalam waaktu dekat. Ayahnya pasti akan mengarahkan panah perjodohan selanjutnya pada dirinya setelah ke-dua kakaknya menikah.

Entah mengapa hati Ayahnya juga sedang dalam suasana yang sangat gembira. Mungkin saja ayah gembira karena Min ce mendapatkan jodoh yang baik. Dan menurut

perhitungan tabib Jong, ibu akan melahirkan sebulan lagi.

Lamunan Ting-Ting buyar saat suara Mei Li yang ceria mengejutkannya. “Ting ce, obat rindumu berada di tanganku! Sebaiknya kau berhati-hati,”
Tangan Ting-Ting segera menyambar amplop coklat dengan stempel sepasang ikan, stempel khas milik Xio Yu.

“Bolehkah aku ikut membaca?” goda Mei Li saat Ting-Ting terlihat serius membaca isi surat dari Xio Yu.
Ting-ting melompat dan berteriak gembira. Dia memeluk Mei Li dengan erat, berputar, menari dan bernyanyi dengan riang. Mei Li tidak pernah melihat Ting-Ting

mengeluarkan ekspresi seperti ini. Kegembiraan yang sangat.

“Dia berhasil! Dia berhasil!” teriak Ting-Ting.
“Jangan katakan padaku kalau Ikan busuk itu berhasil menjadi koki sang Naga!” Mei Li sengaja memanggil Xio Yu dengan ikan busuk hanya untuk mengoda

Ting-Ting.

“Ikan busuk itu akan menjadi ikan Koi!” teriak Ting-Ting. Dia tidak memperdulikan cibiran Mei Li.
“Jadi? Kapan dia akan kembali ke pelukanmu?” tanya Mei Li saat gelombang kebahagiaan Ting-Ting mulai terkontrol.
“Dia harus menjalani masa pelatihan dan menunggu pengangkatannya. Setelah itu dia akan di tempatkan di dapur utama sang Raja. Setelah dua minggu pelatihan,

Sang Raja akan memilih salah satu dari dua pemenang menjadi Pejabat dapur utama. Xio Yu yakin dia akan terpilih. Dan satu bulan lagi, satu bulan lagi dia

akan mendapatkan masa libur. Dan dia berjanji akan melamarku satu bulan lagi!” Ting-Ting kembali menari dan melompat seperti anak kecil yang mendapatkan

mainan idamannya.

Sementara itu Mei Li tersenyum gembira. Dia melompat dan menari bersama sahabatnya. Berbagi tawa dengan impian indah yang akan terwujudkan satu bulan lagi.

======
Bagaimana nasib Ting-Ting dan Pangeran Tahunya? Apakah perjuangan Mei Li akan berbuah manis? Serta penantian Thai Yang dapatkah berakhir indah?

Janji, cinta dan bakti

Selama seminggu ini Ting-Ting terus tersenyum gembira. Surat dari pangeran Tahunya memberikan kekuatan serta kegembiraan yang besar. Surat itu selalu

menemaninya kemanapun dia pergi. Diletakkan dalam kantung wewangian miliknya.

Hari ini, seperti biasanya dia akan mengajar di Sekolah kecil desa Hun Nan. Ting-Ting mencoba mengambil jalan pintas dengan melewati Paviliun Utara, tempat

tinggal Ayah dan Ibunya. Ting-Ting berjalan perlahan saat melewati ruang kerja Ayahnya. Mak Chau, kepala pelayan mengatakan kalau Ayahnya sedang menerima

tamu penting, Pejabat Thai.

Namun langkahnya terhenti saat dia mendengar Ayah menyebutkan namanya dengan helaan nafas panjang setelahnya. Mungkin menguping bukanlah tindakan terpuji,

tapi kali ini perasaan ingin tahu Ting-Ting terlalu kuat. Ada firasat yang meminta dia berhenti dan mendengarkan sejenak.

“Aku belum menemukan jodoh untuk putriku Ling-Ling, oleh karena itu aku mohon Pejabat Thai menunggu sebulan lagi untuk lamaran Ting-Ting. Maafkan aku telah

bersikap tidak sopan. Aku tidak bermaksud membuat Pejabat Thai terhina atau menunggu. Hanya saja sudah menjadi tradisi, seorang adik tidak boleh melangkahi

kakaknya,” dunia Ting-Ting jungkir balik saat itu juga. Dia tidak dapat berpikir, air matanya jatuh dengan derasnya.

Dibalik diamnya dia merasakan jutaan pisau menghujam tubuhnya. Dalam kosong pikiran, hatinya seakan dibakar.

Bagaimana mungkin ayahnya hendak menjodohkan dia dengan Thai Yang. Ting-Ting melangkah perlahan, setelah merasa aman dia segera berlari menuju kamarnya.

Janji untuk bertemu dengan Mei Li di sekolah terlupakan begitu saja.

Di dalam kamar dia menangis dalam diam. Sejak kecil Ting-Ting telah mempelajarinya. Lebih baik menangis dan menyimpan air matamu dalam diam. Tidak ada

perubahan besar saat kamu berteriak atau meraung-raung. Dalam diam kau dapat menyusun rencana kecil. Dalam sunyi kau dapat mengenang impian.

Ting-Ting tidak pernah menyangka Ayahnya mengatur perjodohan dengan Thai Yang. Bukankah dia telah menyerahkan hati kepada Xio Yu dan apa yang harus dia

katakan pada Mei Li? Ting-Ting merasa tidak pernah memberikan harapan kepada Thai Yang. Baginya Thai Yang adalah abang yang baik. Tidak lebih.

Apakah dia salah mengartikan perhatian Thai Yang?

====

“Ayah,” langkah kaki Ting-Ting terhenti. Keberanian yang dikumpulkannya seakan tumpah berserakan saat mata Ayah menatapnya.
“Masuklah putri kecilku,” senyum ayah yang lembut, mengapa terasa menakutkan sekarang?

Ting-Ting mengambil sebuah kursi berukir burung Hong. Mendorongnya ke samping, menyisakan ruang kosong di hadapan meja kerja ayahnya. Kakinya menekuk,

bersujud. Matanya menatap ayahnya dengan cemas. “Apa yang kamu lakukan Mutiara kecilku?” Ayah menatap Ting-Ting dengan bingung. Dia melangkah cepat, menarik

Ting-Ting bangun. Namun Ting-Ting tidak juga beranjak.

“Ayah, sedari kecil aku tidak pernah meminta apapun kepadamu. Kali ini aku mohon kabulkan permintaanku,” Ting-Ting menghanturkan hormat kepada Ayahnya.
Masih dalam bingung sang Ayah menatapnya, “apa yang kau minta Mutiara kecilku. Kau adalah yang terbaik yang pernah Tuhan titipkan padaku. Aku berjanji, akan

kupenuhi permintaanmu dengan segenap jiwaku,”

“Aku tidak ingin Ayah menjodohkan aku dengan Pejabat Thai. Aku telah menetapkan hatiku, telah memilih Xio Yu sebagai pasangan hidupku. Mohon Ayah kabulkan,”

Ting-Ting menyodorkan surat dari Xio Yu kepada Ayahnya. Dalam kesunyian yang mulai terasa menusuk Ting-Ting menunggu reaksi Ayahnya setelah mendengar

permohonan dan membaca surat dari Xio Yu.

Ayahnya mengeleng pelan, “tapi dia juga akan menjadi pejabat istana Ayah. Pejabat dapur utama. Kedudukannya setara dengan Pejabat Thai,” Ting-Ting menjawab

gelengan kepala Ayahnya dengan alasan yang terdengar menjanjikan.

“Andai aku bisa mengubahnya anakku. Semua sudah terlambat. Lagipula, belum tentu dia akan terpilih menjadi Pejabat dapur utama,” Tuan besar Hu mencari

alasan.
“Dia pasti terpilih Ayah. Sang Raja sangat menyukai masakannya. Berilah aku kesempatan Ayah, kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaanku,” Ting-Ting sangat

sedih.

“Dia menipumu anakku, tidak mungkin seorang penjual kembang tahu berharap menjadi Juru masak sang Naga. Apa yang akan dia sajikan? Semangkuk kembang tahu?”

Ayah mencari alasan.
“Jangan pernah menghina dia Ayah. Pernahkah Ayah mencoba masakannya? Dia adalah yang terbaik untuk menempati posisi Pejabat dapur utama. Dan dia juga yang

terbaik untuk menempati posisi utama di dalam hatiku,” sahut Ting-Ting.

Tuan besar Hu mencoba mencari cara. Bagaimana mungkin tukang tahu yang miskin itu telah menipu hati mutiara kecilnya? Menanamkan impian yang tidak masuk

akal. Mutiara kecilnya terlalu baik hati sehingga begitu mudah merasa kasihan dan terperdaya tipuan.

Tuan besar Hu tahu dia tidak dapat mengunakan cara keras pada putrinya yang satu ini. Cara yang tepat adalah menguras rasa iba dan baktinya pada orang tua.

“Apakah kau ingin Ayahmu dipenggal karena mengingkari janji kepada Pejabat besar? Pejabat Thai bahkan telah mempersiapkan segala macam lamaran sejak tiga

bulan yang lalu. Ayah telah berjanji memberikan kamu kepadanya sejak tiga bulan yang lalu,” Ayah menghempaskan surat Xio Yu ke lantai.

“Ayah berharap kamu menunjukkan baktimu pada Ayah. Apakah penjual tahu ini lebih penting daripada Ayahmu?” Ting-Ting ditinggalkan dalam sunyi. Meratapi

ketidak adilan yang menimpanya. Meratapi bakti, cinta dan janji yang harus dipilihnya.

====

Tuan besar Hu berjalan mondar mandir di ruang kerja Thai yang. Kepalanya terasa pusing, tidak ada cara lain. Kebahagiaan putrinya adalah yang utama. Walau

mungkin Ting-Ting akan mengecam, namun pada akhirnya dia akan berterima kasih padanya.

“Ada apa gerangan yang membawa Tuan besar Hu datang ke kediamanku?” Thai Yang mempersilahkan duduk.
“Siapkan lamaranmu besok!” ucapan Tuan besar Hu disambut dengan tatapan heran dari Thai Yang.

“Setahuku, Nona Ling-Ling belum lagi mendapatkan lamaran.”
“Semua bisa diatur. Menurut peramal Gouw, putriku harus segera menikah. Kalau tidak akan terjadi bencana besar yang menimpa dirinya dan keluarga besar kami.

Bila Putri bungsuku ini menikah dalam minggu ini maka segala marabahaya akan terlepas serta berganti dengan kebahagiaan besar. Hanya saja Pejabat Thai harus

menyediakan mahar pelangkah untuk putri ke sembilanku, Ling-Ling,” Tuan Hu berhenti sejenak. Setelah melihat Thai Yang terlihat antusias dia kembali

melanjutkan penjelasan yang dikarangnya bersama peramal Gouw dengan sejumlah sogokan.

“Mahar pelangkah ini akan diberikan kepada suami Ling-Ling nantinya. Maharnya lumayan besar jumlahnya, agar jodoh Ling-Ling tetap dapat terjalin,”
“Baiklah, sebutkan saja. Maka akan aku siapkan. Besok pagi anda dapat mempersiapkan acara lamaran,” Thai Yang mengambil kertas dan pena.
“Bukan hanya lamaran tapi, pernikahan,” jawab Tuan besar Hu lagi.

====

“Ling-Ling, Ayah meminta maaf padamu. Ayah membutuhkan bantuanmu,” Ling-Ling terlihat bingung dengan perkataan Ayahnya.
“Besok, adikmu Ting-Ting akan menerima lamaran dari Pejabat Thai. Dan tentu saja itu berarti akan melangkahi jodohmu. Namun, menurut peramal Gouw semua itu

tidak masalah. Kamu akan mendapatkan mahar penganti yang sangat besar jumlahnya dari Ayah dan Pejabat Thai,” ucap Tuan besar Hu.

Ling-Ling menatap Ayahnya lagi, dia mencoba mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi di dalam hatinya. “Katakan saja apa yang hendak kau sampaikan anakku. Ayah

tahu kau pasti akan marah, tapi ini satu-satunya cara agar ramalan musibah yang akan menimpa keluarga kita terselesaikan,”

“Ayah, bolehkah dengan mahar itu aku meminta pernikahanku sendiri?” Ling-Ling menunggu sejenak.
“Lanjutkan maksudmu,” ucap Tuan Hu.
“Aku dan Lung Si Siang saling menyukai. Aku berharap Ayah mengabulkan permohonanku. Kami menyadari Si Siang bukan dari kasta yang sejajar dengan Ayah. Serta

dia juga tidak memiliki kekayaan, hanya saja dia telah membantumu cukup lama. Belajar dan mengurus semua usahamu, Ayah.” Tuan Hu terkejut. Mengapa dia tidak

menyadari kalau dua putrinya memadu kasih dengan rakyat jelata.

Sepertinya ini adalah solusi terbaik. Lung Si Siang memang pemuda yang baik dan ulet. Ling-Ling yang tidak begitu cantik pasti sulit mendapatkan bangsawan

ataupun saudagar kaya. Dua buah masalah terpecahkan dalam sekali sapu.

“Baiklah, minta Si Siang menyiapkan lamaran juga besok. Kalian akan menikah bersamaan dengan Ting-Ting dan Pejabat Thai. Tapi Ayah memiliki satu syarat untuk

kalian berdua,” Ling-Ling menunggu syarat yang diajukan Ayahnya.

“Kalian berdua harus tetap berada di paviliun dan anak kalian akan meneruskan marga kita bila ibumu melahirkan anak perempuan lagi,” ucap Ayah.

“Engkau membeli menantu Ayah!” teriak Ling-Ling.
“Pikirkanlah! Jika kalian setuju, maka siapkan lamaran untuk esok. Bila tidak, jangan pernah harap dia dapat bekerja lagi di sini. Ayah akan mengirimnya

kembali ke kampungnya,” Ling-Ling tahu putusan Ayahnya mutlak dan tidak terbantahkan.

====

Tandu-tandu berisi mas kawin dan hantaran untuk lamaran memasuki rumah besar keluarga Hu. Mei Li tersenyum, kali ini putri ke sembilan keluarga Hu akan

menikah, pastinya.

Rumah besar itu dihias dengan kain merah dan petasan. Namun dia bingung saat ada dua rombongan pelamar yang memasuki rumah Tuan Hu. Mei Li memanjat dinding

pembatas seperti biasanya. Melompat dan berlari menuju kamar Ting-Ting. Belum sempat dia membuka pintu, seorang pelayan berjalan ke arahnya. Segera saja Mei

Li bersembunyi.

Mei Li melihat Ting-Ting dalam balutan gaun pernikahan berwarna merah. Dia marah! Mengapa Ting-Ting tidak memberi tahu kalau dia akan menikah? Setahunya

Ting-Ting hanya tidak diperbolehkan keluar dari rumah karena sedang mempersiapkan pernikahan Ling-Ling.

Apakah Xio Yu memberi Ting-Ting kejutan? Melamar lebih cepat dari rencana? Apakah karena hal tersebut Ting-Ting jadi lupa segalanya, bahkan lupa pada

dirinya? Ternyata gadis yang sedang dimabuk cinta memang akan lupa pada seisi dunia, termasuk lupa pada dirinya.

Mei Li mengikuti Ting-Ting dengan ekor matanya. Dia menatap tudung merah bergambar bunga dan burung Hong serta tiara yang terbuat dari untaian mutiara besar

menghiasi dan menutup rambut serta wajah Ting-Ting.

Mata Mei Li seakan tidak percaya saat dia melihat tetesan air membasahi lantai yang dilewati Ting-Ting. Apakah itu air mata? Untuk apa? Air mata duka atau

suka?

Mei Li pernah mendengar cerita dari mak comblang, setiap anak gadis yang akan menikah harus menangis. Menangisi ibu dan ayahnya. Menangisi

saudara-saudaranya. Menangisi kampung halamannya. Menangis karena dia tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi. Setelah resmi menjadi istri, seorang

wanita harus ikut semua perkataan suami dan berbakti dengan sepenuh hati.

Mei Li menghampiri Ting-Ting. “Nona Mei Li!” pelayan Ting-Ting berusaha menariknya pergi.
Ting-Ting berhenti dan segera menyibak cadar yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya. Mei Li terdiam saat melihat wajah Ting-Ting, sendu dan pucat.

“Maafkan aku, maafkan aku. Bukan maksudku tidak memberi tahu kamu. Bukan maksudku mengingkari janjiku padamu,” tiga orang pelayan menarik Ting-Ting pergi.

Samar-samar Mei Li masih mendengar suara Ting-Ting. “Maafkan aku. Bukan maksudku mengingkari janjiku pada kalian. Ketahuilah aku sangat menyayangi kalian,”

Mei Li yakin Ting-Ting merasa bersalah karena melupakan janji yang mereka buat sewaktu kecil. Mereka berjanji akan menikah pada hari yang sama. Mengenakan

pakaian pengantin yang sama persis dan tersenyum bahagia.

===

Saat mak comblang mengumumkan mempelai pria telah tiba, hati Mei Li seakan membeku. Apakah telinganya salah? Dia berlari dan menyibak tirai penghubung antara

ruang utama depan. Matanya menatap pria itu, mata yang sangat dirindukannya.

Akhirnya Mei Li sadar arti tangis dan permohonan maaf Ting-Ting. Dia tertawa, menertawai takdir yang kejam.

Mei Li hanya berdiri menatap dengan tatapan kosong berlangsungnya upacara penyajian teh dan penghormatan kepada leluhur dan pihak keluarga dari mempelai

wanita. Teh disajikan kepada orang tua dan kerabat yang lebih tua. Berbagai perhiasan emas serta angpao diberikan sebagai tanda restu dan doa.

Akhirnya tandu merah yang berisi sahabat terbaiknya, saudaranya, tempat dia membagi suka dan duka serta rahasia meninggalkan halaman paviliun rumah besar

keluarga Hu. Mei Li berlari mencoba menyamai langkah para pengangkat tandu. Tangannya berusaha menyibak tirai. Saat sosok Ting-Ting terlihat, amarah terlalu

menguasainya.

“Maafkan aku. Aku mohon maafkan aku,” tangis Ting-Ting tidak dapat menyiram api amarahnya.
“Aku membencimu Hu Ting Ting,” bisiknya

Perjanjian dan Pertaruhan.

Sebuah pesta besar-besaran digelar di kediaman Pejabat Thai. Kedua orang tua serta keluarga besar Pejabat Thai telah datang. Suara pesta serta musik memenuhi

seisi paviliun itu. Paviliun Cahaya, itulah nama yang diberikan Thai Yang pada istana kecilnya. Dan di dalam Paviliun Cahaya terdapat Ruang Mentari.

Di ruang Mentarilah Ting-Ting duduk di tepi ranjang pengantinnya. Menunggu hingga pesta usai. Menunggu suaminya menyibak cadar dan membawanya melewati malam

pengantin. Dia pernah berpikir mengenai malam pengantin. Membayangkan pria yang dicintainya, Xio Yu akan menyibak cadar dan memenuhi jiwanya degan cinta

kasih.

Namun semua hanya mimpi. Saat ini dia merasa bagai menunggu putusan hukuman mati dijatuhkan. Sebuah guilotine siap memancung kepalanya.

Apa yang harus dia lakukan? Melaksanakan kewajiban sebagai istri yang baik? Menjalani hari bagai semua tidak pernah ada? Apakah dia masih bisa menatap Mei

Li? Ting-Ting masih ingat bisikan tajam Mei Li.

Mei Li membencinya, yah .. apalagi yang bisa aku harapkan? Setelah mengingkari janji, merebut pujaan hati sahabat baiknya.

Kemudian bagaimana dengan janjinya pada Xio Yu. Dia berjanji akan menunggunya. Menanti lamaran dan hidup bahagia bersama hingga maut memisahkan.

Yah, maut. Hanya itu jalan keluarnya. Saat maut mengambil nyawanya semua janji dapat dipenuhinya. Saat ini bukankah dia telah menjadi istri sah Thai Yang.

Saat ini bukankah bakti kepada orang tuanya telah dia persembahkan. Dan setelah maut berbicara, janjinya pada Mei Li tetap terpenuhi. Demikian pula cintanya

pada Xio Yu.

Ting-Ting mengambil sebuah gunting kecil. Gunting yang memang telah dipersiapkan oleh mak comblang. Gunting itu akan dipergunakan untuk membuka Thou Peh –

pakaian dalam yang dijahit erat pada tubuh mempelai wanita.

Tangannya memegang gunting, mengarahkan mata gunting tepat di atas nadinya.
====

Thai Yang berdiri di depan pintu kamar pengantin. Dia mengintip dari celah pintu, matanya membelalak seakan tidak percaya pengantinnya sedang memegang

gunting. Dengan cepat dia mendekati dan merampas gunting itu, tepat sebelum mata gunting menyayat kulit mulus pengantinnya.

“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
“Seharusnya ini menjadi malam yang paling mengembirakan bagi kita berdua.” Thai Yang mengenggam gunting itu dengan erat.

“Seharusnya malam ini aku lalui dengan pria pilihanku. Seharusnya malam ini kau bersama dengan wanita yang benar-benar mencintaimu,” teriak Ting-Ting namun

suaranya tersamarkan oleh aneka alunan musik dan petasan.

Tidak ada yang mendengar teriakkannya.Thai Yang telah memerintahkan semua pelayan untuk menyingkir dari ruang Mentari. Lagipula letak ruang Mentari dengan

pusat pesat sangat jauh. Ruang Mentari memang sangat spesial, terletak di ujung timur, di kelilingi taman dan kolam yang indah. Ruangan itu memang dirancang

khusus oleh Thai Yang sambil membayangkan Ting-Ting.

“Apa maksudmu? Kau menolak menikah denganku?” Ting-Ting teringat ancaman Ayahnya saat mata Thai Yang terlihat penuh amarah.
“Aku tidak menolak memenuhi kewajibanku kepada orang tuaku. Bakti seorang anak, hanya saja aku tidak bisa menyertakan cinta dalam pernikahan ini. Aku tidak

mencintaimu. Aku membencimu!” ucap Ting-Ting.

Kemana hilangnya gadis lemah lembut yang dicintainya? Thai Yang meremas gunting kecil itu hingga patah menjadi dua. Mata gunting telah menyayat telapak

tangannya. Darah mengucur pelan, tak dihiraukannya.

“Katakan siapa pria itu!” teriak Thai Yang.
“Apakah ada bedanya? Apakah setelah aku mengatakan kau akan menyerahkan aku kepadanya?” tanya Ting-Ting.
“Tidak! Kau adalah milikku! Dan selamanya akan menjadi milikku,”
“Walau hanya raga?” tanya Ting-Ting cepat.

“Kau akan menjadi istriku, menemaniku, memberiku keturunan dan bersama denganku hingga maut memisahkan. Aku akan memberimu kebahagiaan dan cinta, apakah itu

tidak cukup untuk membuatmu mencintaiku?” teriak Thai Yang frustasi.
“Tidak, cintaku tidak dapat kuberikan padamu,” jawab Ting-Ting

“Siapapun yang hendak mengambil dirimu dariku akan berhadapan dengan pedangku dahulu,” sahut Thai Yang sambil menghunus pedangnya.
“Kamu adalah milikku dan aku memiliki hak penuh atas dirimu,” teriak Thai Yang lagi.

===

“Baiklah, mari kita selesaikan masalah kita. Ambillah hak kamu sebagai suami hingga aku memberimu keturunan, setelah itu kau tidak boleh menyentuhku lagi.

Kau boleh mengambil selir sesuka hatimu, aku tidak peduli,” Ting-Ting menuang arak pernikahan dan menyerahkannya pada Thai Yang.

Setelah cangkir araknya kosong, Ting-Ting membaringkan badan di atas tempat tidur. Pikirannya melayang kepada Xio Yu. “Maafkan aku Xio Yu,” ucapnya pelan.

Thai Yang membanting teko arak. “Aku tidak sudi bercinta dengan istri yang pikirannya masih bersetubuh dengan pria lain,” Thai Yang berpikir sejenak, mencoba

meredakan emosi dan mengumpulkan akal sehatnya.

“Baiklah, aku akan mengikuti permainanmu. Kita akan memainkan peranan suami istri dengan sempurna, kau mengerti? Sempurna!” Thai Yang menarik gaun merah

Ting-Ting.

“Aku akan memberikan cintaku kepadamu dengan tulus. Aku akan menunggu dan membuat kamu menyerahkan cintamu kepadaku.”
“Dan dengan kerelaan hatimu kau akan menyerahkan dirimu kepadaku selamanya. Bila saat ini aku bercinta denganmu, bukankah sama saja aku memperkosa istriku

sendiri. Sungguh memalukan,” Ting-Ting melihat Thai Yang meludah dengan jijik.

“Satu lagi, aku tidak akan pernah mengambil selir. Bagiku istriku hanya satu dan aku akan setia kepadanya seumur hidupku. Saat aku telah menjadi mayat

barulah kau bisa bersatu dengan pria brengsek itu.” Thai Yang menarik Ting-Ting dan memeluknya erat.

“Saat kau tidak menginginkan aku lagi atau saat ada wanita lain yang mengantikan aku di hatimu, lepaskanlah aku. Aku mohon. Ceraikanlah aku, buanglah aku

bagai kau membuang pakaian bekas. Lupakan aku dan biarkan aku hidup sendiri,” pinta Ting-Ting.

Tangannya mengelus rambut Ting-Ting, sebuah ciuman yang dalam dan menuntut membuat Ting-Ting pusing. Perasaan apakah ini? Mengapa dia merasakan ada yang

bergejolak di dalam dadanya?

“Aku tidak akan pernah menganti posisimu dengan yang lain. Jadi persiapkan hatimu untuk hidup bersamaku selamanya”. Thai Yang megarahkan tetesan darahnya ke

atas kain putih di atas ranjang. “Setidaknya beri mereka bukti bahwa kamu telah menjadi milikku,” setelah itu dia melemparkan badannya ke atas ranjang.
“Tidurlah! Aku tidak akan menyentuhmu, kau bisa pegang janjiku. Besok kita akan memainkan sandiwara sepanjang hidup kita,”

Ting-Ting menghela napas. Matanya menutup tapi pikirannya melayang jauh. Dia sudah beruntung masih bisa mendapatkan perjanjian dari Thai Yang. Adakah jalan

keluar terbaik untuk mereka? Semoga saja ini hanya mimpi buruk. Dia terlelap dengan sejuta masalah dan berharap ada mukjizat yang turun.

Putri Ting-Ting dan Pangeran Tahu Part 14 (Muslihat Licik)

Muslihat Licik

Pagi ini Mei Li bangun dengan perasaan kacau. Dia tahu pagi ini dirinya telah berubah. Mei Li yang dulu telah hancur berkeping-keping bersama dengan tetesan

air matanya. Dia juga sadar pagi ini Ting-Ting akan bangun di ranjang pengantin bersama dengan Thai Yang, pria yang dicintainya dengan sepenuh hati.

Ting-Ting akan bangun dengan menyandang nama Nyonya Chen, istri Pejabat Thai.

Mei Li mengenakan pakaian dan mulai menyisiri rambutnya. Apakah cinta dan pengorbanan? Persahabatan dan kesetiaan? Semua hanya omong kosong.

===

Seorang pelayan mengetuk pintu. Menunggu hingga Mei Li menyuruhnya masuk, sepucuk surat berpindah ke tangan Mei Li. Dia mengenali tulisan tersebut. Walaupun

perasaan muak memenuhi dirinya, namun tangannya tetap merobek dan mengeluarkan secarik kertas tersebut.

Mei Li saudariku walaupun aku harus memindahkan gunung serta menguras lautan untuk mendapatkan maaf darimu, akan aku lakukan. Ketahuilah aku tidak pernah

menyangka semua ini akan terjadi. Aku melaksanakan baktiku kepada Ayahku. Nyawa dan kehormatan Ayahku taruhannya. Dan sebagai anak aku wajib menjaganya.

Aku memohon maaf darimu. Maafkan aku telah mengingkari janji kita. Maafkan aku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku karena menjadi saudari yang berengsek.

Aku berharap kau dapat membantuku. Bantu aku untuk lepas dari semua ini. Aku tidak pernah mencintai Thai Yang. Dia tercipta untukmu, bukan untukku.

Kami melakukan perjanjian. Saat dia memiliki wanita lain yang mengisi hatinya dan tempat tidurnya maka aku akan bebas dari dirinya.

Maafkan keegoisanku ini. Aku mohon jadilah wanita yang mengisi jiwanya dengan cinta. Bebaskan aku.

Tangan Mei li terkepal. Dia terlihat kesal dan marah. Bagaimana mungkin Ting-Ting memintanya merayu Thai Yang? Thai Yang adalah suaminya. Jadi Ting-Ting

merencanakan untuk berpisah dari Thai Yang dan bersatu dengan Xio Yu.

===

Namun sore itu setelah otaknya mulai jernih. Mei Li kembali membaca surat dari Ting-Ting. Dia menyadari kalau Ting-Ting memberikan jalan untuknya. Yang harus

dilakukannya hanyalah merebut cinta Thai Yang. Mengeser posisi Ting-Ting, maka semuanya akan selesai dengan baik. Dia menulis surat kepada Ting-Ting dan

meminta pelayan kepercayaannya mengantarkan langsung kepada Ting-Ting.

Esok harinya sepucuk surat yang telah ditunggu Mei Li tiba. Dia dengan terburu-buru merobek dan mulai membaca. Senyum menghiasi wajahnya. Segera saja Mei Li

mengambil gaun terbaiknya. Mengenakan hiasan dan memoles wajahnya secantik mungkin.

====

Malam itu bulan bersembunyi di balik pelukan awan. Hembusan angin terasa dingin dan bercampur uap air, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Mei Li

memegang erat payung berwarna merah miliknya. Dia berjalan menuju jalan belakang paviliun cahaya. Melalui surat Ting-Ting dia dapat menemukan ruang Mentari

tanpa tersesat. Ting-Ting memang telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Semoga saja hasilnya akan berakhir sempurna juga.

“Sudah siap Mei Li?” Ting-Ting mengeluarkan sebuah gaun berwarna merah muda. Mei Li membelakak seakan tidak percaya.
“Gaun apa itu Ting ce?” walau dia tahu jawaban dari Ting-Ting.

“Bukankah kau akan melancarkan serangan ala selir Liang Hwa. Maka pakaian yang kau kenakan harus menunjukkan maksudmu juga,” Mei Li tersenyum dan segera

menganti pakaiannya. Dia menatap dirinya di cermin besar buatan negara barat. Gaun itu membungkus dirinya dengan ketat. Semua lekuk tubunnya tercetak jelas.

Dan dengan garis leher yang sangat rendah, pakaian itu terasa sangat mengundang.

“Bersiaplah. Aku mengandalkan dirimu,” Ting-Ting memeluk Mei Li.
“Terima kasih,” ucap Ting-Ting.
“Ting ce, semalam Xio Yu mengirimkan surat ke sekolah lagi. Dia akan melamarmu minggu depan.” Mata Ting-Ting mulai berkaca-kaca.

“Aku sudah tidak pantas untuknya. Biarlah dia mendapatkan cinta yang lain,” Ting-Ting mengambil sebuah buntelan kain. Mei Li menatap dengan tatapan bertanya.
“Aku akan pergi jauh. Jadi saat itu hiduplah dengan bahagia bersama Thai Yang. Sampaikan permohonan maafku pada Xio Yu. Aku mohon kembalikan gelang ini

kepadanya,” Ting-Ting melangkah dengan pelan menyisakan Mei Li yang bingung akan keputusan yang harus diambilnya.

===

“Mengapa kau tidak menyalakan lilin?” Thai Yang agak sedikit mabuk , kakinya beberapa kali terantuk kursi saat memasuki kamar tidur. Tangannya meraba-raba,

mencoba mencari letak lilin.

Sudah seminggu dia menikah dan selama itu pula dia belum pernah menyentuh istrinya. Setiap malam sebelum tidur dia akan membenamkan diri dalam beberapa

cangkir arak. Hanya arak yang membuatnya lebih tenang. Istrinya yang manis belum lagi membuka hati padanya. Berbagai cara telah dilakukan. Menghadiahinya

pakaian dan perhiasan. Mengajaknya menikmati sore dengan perahu yang indah. Semua cara telah gagal, apa lagi yang harus dia perbuat untuk mendapatkan cinta

Ting-Ting.

“Duduklah di dekatku, aku mohon,” Thai Yang berjalan menuju tempat tidur. Dia mencoba mengenali suara yang berbicara padanya. Suara itu bukan Ting-ting.

Aroma kamar ini bukan berasal dari aroma tubuh Ting-Ting yang lembut dan menghangatkan.

“Siapa kau?” ucapnya dengan kesal.
“Pelacur murahan, dari mana kau berasal? Kalau kau mencoba menjebakku, Ting-Ting. Kamu tidak akan bisa. Aku terlalu cinta padamu, aku bisa mengenali suaramu,

nafasmu, bahkan aroma tubuhmu,” Mei Li menahan tangisnya saat mendengar ucapan Thai Yang.

Dia merasa hancur, di sinilah dirinya melacurkan diri. Merendahkan dirinya, mengemis cinta pada pria pujaan hatinya. Tapi yang diterimanya hanyalah makian

dan hinaan. Nampaknya tidak ada tempat untuk dirinya.

“Aku menyayangimu melebihi apapun Thai Yang. Mengapa tidak kau pilih saja diriku?” ucap Mei Li sambil menahan tangisnya.

“Aku tidak mencintaimu. Siapapun kamu,” Thai Yang bahkan tidak mengenali suaraku, Mei Li semakin terjatuh dalam lumpur penyesalan.
Saat Thai Yang menemukan lilin dan menyalakannya, ruangan menjadi terang benderang. Thai Yang melihat sosok Mei Li yang tidak mengenakan pakaian duduk di

atas ranjang beralas kain berwarna hijau lembut. Segera saja dia memalingkan wajah.

“Jikalau kau mencintaiku seharusnya kamu bahagia saat melihat aku mendapatkan kebahagiaanku bersama wanita yang kucintai.”ucap Thai Yang. Thai Yang berjalan

mendekati meja rias sambil terus meraba-raba, matanya masih tertutup. Tangannya mencari-cari pakaian yang sekilas dilihatnya.

Setelah menemukan pakaian tersebut dia melemparkan ke arah ranjang. Mei Li hanya menahan tangis dan malu. Mei Li mengenakan kembali pakaiannya. Dia tahu

usahanya sia-sia. Dia telah kalah.

“Kejarlah cintamu Thai ke. Dia akan meninggalkan desa Hun Nan dengan perahu yang akan berangkat setengah jam lagi,”
“Apa?” teriak Thai Yang.
“Ting-Ting akan pergi. Bila kau memang ingin bersamanya, segera kejar dan bahagiakan dia,” ucap Mei Li disela tangisnya. Thai Yang tidak menyia-nyiakan

waktu. Dia segera berlari “Terima kasih! Aku selalu menyayangimu seperti adikku sendiri Mei Li,”

Mei Li berjalan dengan linglung. Langkahnya terasa berat. Tanpa terasa dia telah berada di depan kedai tahu milik Xio Yu. Dia meluapkan emosi dengan

menendang dan meninju dinding kedai itu. Tangannya bengkak dan berdarah. Dia mencintai Thai Yang dengan segenap jiwanya, dan bila dia tidak bisa mendapatkan

cintanya maka dia akan berkorban seperti gadis bunga matahari. Dia akan memastikan pujaan hatinya mendapatkan kebahagiaan dengan cara apapun.

====

Mei Li melihat ada cahaya kecil dari dalam kedai tahu. Dia merasa curiga. Dengan perlahan daun pintu digesernya. Sesaat dia tertegun melihat sosok yang

bersandar di dipan panjang. Dia adalah Xio Yu, pangeran Tahu milik Ting-Ting.

Mei Li mendekati Xio Yu, dari kejauhan sudah tercium aroma arak putih yang begitu kuat. Dia menyimpulkan kalau Xio Yu telah mengetahui berita pernikahan

Ting-Ting. Tapi kapan dia kembali dari ibu kota? Mengapa dia hanya mengurung diri dan meracuni tubuhnya dengan arak?

Mei Li menyapa Xio Yu, tapi tidak ada tanda-tanda pria itu menyadari kehadiran Mei Li di dekatnya. Akhirnya dia memilih duduk di samping Xio Yu. Dia

memperhatikan wajah Xio Yu, wajah lembut dan ramah itu telah kusut dan hancur. Harapannya sirna dengan sekejap mata.

Mereka berdua senasib. Hanya saja Mei Li tahu benar ketika Xio Yu sadar dari mabuknya dia akan mencari cara untuk merebut Ting-Ting dari sisi Thai Yang. Dan

Mei Li sudah berjanji akan melakukan apapun demi Thai Yang.

Satu persatu dia melepas pakaian Xio Yu. Dan dengan perlahan dia mulai merobek-robek pakaiannya sendiri. Mei Li menempatkan dirinya di samping tubuh Xio Yu.

Matanya terpejam, dia ingin tidur sejenak sebelum esok pagi terbangun dengan sandiwara yang akan dimainkannya.

Perbuatannya curang dan jahat, mungkin. Tapi ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan cintanya pada Thai Yang. Sebuah obsesi yang aneh setelah dirinya yakin

Thai Yang tidak akan bahagia bersamanya.

Semua untukmu

Thai Yang memacu kudanya secepat kilat. Nafasnya terengah-engah, namun tidak menghentikannya berlari mengejar kapal yang akan berlayar. Thai Yang menatap

kapal itu mulai melepaskan tali pengikat. Teriakkan Thai Yang memecah kesunyian malam. Dia dapat merasakan Ting-Ting begitu cemas di dalam kapal.

“Hentikan kapal” teriak Thai Yang kepada petugas dermaga. Petugas dermaga yang melihat Pejabat Thai segera mengeluarkan bendera dan meneriakkan kepada

nahkoda untuk berbalik haluan.

Di dalam Ting-Ting duduk merapat ke dinding kapal. Memeluk erat buntelan yang dibawanya. Mulutnya komat kamit berdoa. Matanya tertutup rapat. Saat dia

merasakan kapal mulai melambat dan berhenti, hatinya kacau.

Thai Yang melompat memasuki dek kapal dengan sangat mudah. Dia berkeliling dan mencari istrinya. Kakinya berhenti tepat di depan seorang pemuda yang sangat

cantik. Tangannya menarik Ting-Ting yang masih menunduk. Thai Yang merasakan tangan Ting-Ting bergetar, rasa sayangnya kepada istrinya mengalahkan emosi.

Dengan pelan dia menarik dan memberinya ketenangan, “Tenanglah, kita akan pulang ke rumah,”

Setiap mata memandang mereka, berbisik pelan dan berusaha mencari tahu. Setiap penduduk desa Hun Nan sangat mengenal Thai Yang, jadi mereka memasang ribuan

pertanyaan mengenai keadaan ini. Thai Yang melangkah perlahan mengimbangi langkah istrinya yang lemah.

“Pejabat Thai,” sang nahkoda merasa perlu bertanya.
“Istriku sedang mengadakan permainan kecil. Aku harus dapat menemukan dia diantara sejumlah orang. Dia masih meragukan bahwa aku mencintainya,” Thai Yang

menatap Ting-Ting. Tangannya mengenggam erat jemari istrinya.

“Ting-Ting percayalah padaku di manapun kamu berada, dalam rupa seperti apapun aku tetap dapat mengenalimu. Cintaku tulus kepadamu. Aku mohon percayalah. Dan

sekali lagi aku memohon, maukah kau menemani aku hingga maut memisahkan?” seisi kapal bersorak gembira, bertepuk tangan dan ucapkan selamat kepada Ting-Ting.

Mereka merasa kalau Ting-Ting sangat beruntung mendapatkan suami yang baik dan mencintainya setulus hati. Ting-Ting hanya diam. Dia menunduk dan menangis.

Semua orang mengira air mata itu adalah air mata kebahagiaan, mereka tidak pernah menduga.

====

Ting-Ting menatap ruang mentari. Ruangan seluas 18 x 18 meter ini sangat indah. Dikelilingi taman dan kolam ikan. Sebuah pondok untuk bersantai juga terdapat

di sana. Hanya saja Ting-Ting tidak merasakan berada di rumahnya. Ruangan ini, paviliun ini terasa asing dan menakutkan. Baginya istana mewah ini telah

memasung cintanya.

“Jangan pernah menyerahkan aku kepada wanita yang lain,” Ting-Ting menatap Thai Yang dengan heran. Suara Thai Yang lembut dan sedih, dia tidak percaya Thai

Yang tidak menghukumnya. Mungkin saat di Kapal Thai Yang tidak bisa menghajar atau mencaci maki dirinya. Tapi di istana kecilnya semua peraturan ada di

tangan suaminya.

“Tahukah kamu? Hatiku begitu sedih. Kamu dengan mudahnya memberikan aku, suamimu kepada teman baikmu. Apa yang kau pikirkan?” Thai Yang melepas ikatan rambut

Ting-Ting, jemarinya mulai menyisir rambut Ting-Ting dengan lembut. Tangan kirinya memijat bahu istrinya dengan penuh cinta.

“Dia mencintaimu. Dan aku telah berjanji akan membantunya mendapatkanmu,” jawab Ting-Ting. Ada rasa yang mulai tumbuh di hatinya dan dia tahu rasa itu

bukanlah yang diinginkannya.
“Tapi bagiku dia hanyalah adik kecil. Kau bahkan tega menyuruhnya menjadi pelacur murahan?” Ting-Ting menggeleng pelan.

“Aku telah bersumpah kepada langit dan bumi. Kepada Tuhan yang maha adil. Berjanji kepada leluhur dan orang tuamu. Aku bersumpah akan menjagamu, mencintaimu

dan tetap setia kepadamu. Jangan buat aku ingkari janjiku sendiri, aku mohon kepadamu.” Baru kali ini Ting-Ting melihat Thai Yang rapuh. Secara reflek dia

mengelus tangan Thai Yang, berharap ada kekuatan yang dapat dibagi.

===

Sinar matahari telah mengintip dari celah jendela, Mei Li membuka matanya perlahan. Dia masih tertidur dalam pelukan Xio Yu. Senyum kecil menghiasi bibirnya.

Mei Li yakin keluarganya pasti panik saat mendapati kamar tidurnya kosong. Mereka pasti akan mencarinya dan selain rumah kediaman keluarga Hu, tujuan

pencarian selanjutnya adalah sekolah desa Hun Nan yang bredekatan dengan kedai Tahu milik Xio Yu. Mei Li telah meletakkan payung miliknya di depan pintu

kedai, bukan sebuah kesengajaan. Hanya saja kemarin saat dia masih dilanda emosi, dia melemparkan semua barang dengan kesal termasuk payung kesayangannya.

Mei Li berharap keluarganya segera datang sebelum Xio Yu sadar dari mabuknya. Suara teriakkan orang-orang mulai terdengar. Mei Li tersenyum gembira dan mulai

memainkan sandiwaranya. Dia menutup mata dan berpura-pura tidur.

“Mei Li!” teriak Ting-Ting. Pagi ini pelayan kepercayaannya mendengar kalau nona Mei Li tidak kembali ke rumah semalam. Ting-ting merasa sangat bersalah, dia

adalah penyebab semua ini. Dia segera bangun dan mengajak Thai Yang untuk mencari Mei Li bersama saudara-saudara Mei Li yang lainnya.

Ting-Ting yakin Mei Li akan pergi ke sekolah untuk menenangkan diri. Tapi bagaimana kalau perkiraannya salah? Bagaimana kalau Mei Li bunuh diri? Dia tidak

akan bisa memaafkan dirinya kalau sesuatu terjadi pada Mei Li.

“Bukankah itu payung Mei Li?” teriak salah satu abang Mei Li. Mereka segera menghampiri payung merah yang terletak di depan pintu kedai tahu. Ting-Ting

terkejut, mengapa Mei Li berada di sana? Dia segera berlari memasuki kedai. Tangannya memberi isyarat agar mereka semua tidak mengikuti. “Berikan aku

kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan Mei Li,” ucapan Ting-Ting ditanggapi semuanya dengan anggukan setuju.

Mereka semua tahu kalau Ting-Ting sangat dekat dengan Mei Li. Dan hanya Ting-Ting yang dapat menenangkan emosi adik mereka.

Ting-Ting melangkah perlahan, mencari-cari di mana Mei Li. Matanya membelalak, tanpa disadari Ting-Ting berteriak histeris, “Tidak!”

Pria-pria yang menunggu dengan cemas segera berlari masuk dan mendapati pemandangan yang membuat hati mereka panas. Ting Fung, abang tertua Mei Li menarik

selembar kain dan menutup tubuh adiknya. Dia menarik Xio Yu dan mendaratkan sebuah tamparan di wajah Xio Yu.

Ting-Ting menutup matanya, air mata mengalir lagi hari ini. Dia tidak percaya sahabat dan kekasihnya tidur bersama.

“Bangun! Pria berengsek! Lebih baik kamu segera bangun sebelum aku meremukkan seluruh tubuhmu,” teriak abang ke-dua.
Xio Yu yang masih pusing mulai membuka mata. Dia bingung dan tidak percaya. Matanya menatap Ting-Ting yang didekap erat oleh Thai Yang. “Ting-Ting! Mengapa?”

belum selesai dia bertanya suara teriakan gadis membuat dia terkejut.

Mei Li merasa sudah waktunya dia bangun dan berteriak. “Jahat! Mengapa kamu melakukan semua ini?” Xio Yu semakin bingung. Dilihatnya tubuhnya telanjang dan

pakaian Mei Li compang camping. Bahkan bisa dikatakan Mei Li hampir tidak mengenakan pakaian, hanya selembar kain menutupi dirinya.

“Kau! Kau telah menodai adikku! Aku akan mengirimmu ke neraka!” tangan Ting Fung ditahan oleh Thai Yang.
“Pikirkan dahulu sebelum membunuh. Siapa yang akan bertanggung jawab atas adikmu bila dia mati?” Thai Yang mencoba menengahi masalah ini. Namun dalam hatinya

dia masih tidak habis pikir. Semalam gadis ini menyerahkan dirinya kepada dia. Namun pagi ini dia menemukan gadis ini tidur bersama pria lain.

“Kau akan ikut ke rumah kami. Biar ayah kami yang memutuskan,” Ting Fung mengendong adiknya dengan lembut. Sebuah jubah milik abang Kedua digunakan untuk

menutupi tubuh Mei Li yang masih larut dalam kesedihan.

Ting-Ting berdiri membeku. “Teganya dirimu Xio Yu. Teganya kamu melukai teman baikku! Apa yang ada di dalam otakmu?”
Xio Yu menatap Ting-Ting, “Aku tidak melakukan semua ini. Tidak, percayalah padaku,”
Ting-Ting menatap dengan pandangan menghina. “Kau menyerahkan akal sehatmu pada minuman keras. Dan inilah hasilnya,”
“Aku menyerahkan seluruh jiwaku pada dirimu dan lihat hasilnya!” teriak Xio Yu.

Thai Yang memeluk istrinya dengan lembut. “Diakah pria itu?” tanya Thai Yang.
“Tidak pernah ada pria itu!” jawab Ting-Ting dingin.
“Kau meninggalkan aku demi dia. Demi pria yang berkedudukan lebih tinggi. Memberiku harapan dan impian kemudian menghempaskannya ke dasar lautan.” Xio Yu

meradang.

“Apakah kau juga sengaja menjauhkan kami? Berpura-pura membantuku mencapai kedudukan sebagai Pejabat Dapur Utama tapi di sisi lain kau merampas kekasihku!”

Xio Yu melempar sebuah guci arak tepat di pelipis Thai Yang.

“Katakan kalau kau terpaksa menikah dengannya. Katakan! Aku akan segera membawamu pergi,” Xio Yu berdoa, berharap hatinya tidak salah.
“Kau harus bertanggung jawab atas Mei Li,” hanya itu yang Ting-Ting ucapkan sebelum menemani sahabatnya pergi.

Terjebak dalam jebakan sendiri

Tuan Kheng meradang, tangannya berkali-kali mengepalkan tinju ke udara. Putri kesayangannya ternodai oleh seorang penjual tahu. Apa yang harus dilakukannya?

Membunuh pria itu bukanlah penyelesaian yang baik. Tapi menikahkan mereka, juga tidak membuat hatinya tenang.

“Ayah, aku mohon nikahkan saja kami. Aku tidak sanggup menanggung malu. Bila masalah ini diketahui oleh seluruh penduduk desa, bukankah pintu jodohku akan

tertutup selamanya?” ucap Mei Li.
“Tapi! Kamu layak mendapatkan yang lebih baik daripada sekedar tukang tahu yang tidak tahu malu ini!” teriak tuan Kheng.

Sementara itu pria yang sedang dibicarakan hanya diam dan membisu. Dalam otaknya hanya ada Ting-Ting. Mengapa Ting-Ting mengkhianati dia? Dia yakin kalau

gadis pujaan hatinya terpaksa menikah dengan Thai Yang. Dan teman baiknya telah merebut kekasihnya dari dirinya dengan licik. Thai Yang pasti telah

merencanakan semua ini. Berpura-pura berbaik hati nyatanya menusuk dari belakang.

“Kau! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini. Besok pesta pernikahan akan digelar.” Teriak Tuan Kheng.
Xio Yu terus mematung. Dia yakin dirinya dijebak. Apakah ini adalah taktik yang dipergunakan Thai Yang untuk menjatuhkannya? Kalau begitu dia akan mengikuti

permainan ini dan menghancurkan mereka semua yang telah melukai dan menjebaknya.

“Kau akan mendapatkan pesta pernikahan itu!” Xio Yu melangkah ke arah pintu besar namun dihadang oleh para pengawal Tuan Kheng.
“Kau bisa memerintahkan pengawalmu untuk terus mengawasi aku. Bukankah sebagai mempelai pria aku harus menyediakan hantaran dan mas kawin,” ucap Xio Yu

dingin.

“Mas kawin apa yang bisa kau bawakan, Tukang Tahu?” Tuan Kheng tersenyum mengejek.
“Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk menyediakan mas kawin dan hantaran. Esok kau cukup mengikuti iringan tandu yang telah kupesan,” nada mencemooh

terdengar jelas dari cara bicara Tuan Kheng.

Xio Yu hanya tersenyum, dia menatap ke arah Mei Li, “Kau akan mendapatkan pernikahan ini. Dan kau akan merasakan akibatnya perlahan-lahan, penipu,” Mei Li

hanya diam, dalam diamnya dia mencoba mencerna ancaman dari Xio Yu.

Apakah Xio Yu merencanakan untuk menyiksanya? Atau Xio Yu akan membuat Thai Yang menderita

====

Xio Yu melepas penat dan kegelisahannya sesaat. Dia menatap warung tahu miliknya. Saat ini dia bukan lagi hanya Tukang Tahu, dia telah menjadi Pejabat Dapur

Utama. Namun menjadi pejabat ternyata tidak memberinya jalan untuk mendapatkan impiannya.

Besok dia akan menikah, tapi bukan dengan gadis pujaan hatinya. Dia dijebak.
“Pejabat Fung, kami telah melaksanakan perintah Pejabat. Semua persiapan hantaran telah selesai. Kami juga telah mempersiapkan tandu yang terbaik,” seorang

pelayan yang dipekerjakan Xio Yu melapor.

Saat ini Xio yu telah memiliki uang dan kekuasaan. Dia ingin melihat wajah tuan Kheng dan tuan Hu saat arak-arak pengantin memasuki rumah Mei Li. Tapi, pesta

pernikahan itu tetap akan dilakukan di kedai tahu miliknya ini. Semua orang harus tahu, dia telah berubah.

“Persiapkan semuanya dengan baik. Hiasi ruangan ini,” kemudian Xio Yu meninggalkan pelayan-pelayannya yang mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk

esok.

====

“Astaga! Tandu itu bukan tandu yang ku pesan!” teriak tuan Kheng saat melihat sebuah tandu besar dan mewah memasuki halaman rumahnya. Iring-iringan hantaran

dan pelayan mulai mendekat. Dia menatap dengan terbelalak, semua barang yang dibawa masuk ke dalam rumahnya bukanlah barang yang dia pesan. Semua hantaran

itu adalah barang-barang yang terbaik dan mahal. Dari mana datangnya semua ini?

Tidak mungkin seorang tukang tahu bisa membeli semua barang berharga dan mahal. Apakah Pejabat Thai Yang membantu Xio Yu? Atau Ting Ting meminta suaminya

untuk membantu?

Tuan Kheng semakin terkejut saat mak comblang mengumunkan jumlah mas kawin yang di sediakan oleh Xio Yu.

Sebuah pesta mewah digelar di kedai tahu milik Xio Yu. Setiap warga desa Hun Nan tak percaya saat mengetahui kalau Xio Yu, si tukang kembang tahu telah

menjadi Pejabat dapur utama istana Sang Naga.

“Besok kami akan segera berangkat ke ibukota. Pekerjaanku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” ucap Xio Yu saat tuan Kheng menanyakan soal tempat tinggal

mereka.
Tuang Kheng tersenyum dan terlihat bahagia. Dia tidak menyangka akan mendapatkan menantu seorang pejabat muda, bahkan pejabat yang menempati posisi yang

cukup penting.

====

Mei Li duduk dengan keringat menetes dari setiap pori-pori di tubuhnya. Ketakutan baru saja merayap naik dan berputar-putar di otaknya. Dia berusaha menebak

jalan pikiran Xio Yu. Jika Xio Yu hendak mempermalukannya mengapa pesta sebesar ini digelar.

Suara langkah kaki semakin mendekat dan Mei Li yakin kalau langkah kaki itu adalah langkah kaki Xio Yu. Mereka telah resmi menjadi suami istri. Mei Li dapat

melihat tatapan benci dari mata Xio Yu. Bagaimana mungkin dia dapat menjalani sisa hidupnya dengan pria yang begitu membencinya?

“Seharusnya cadar itu tidak perlu lagi kau pakai!” suara Xio Yu terdengar dingin. Mei Li hanya menunduk, dia tidak tahu harus berkata apa.
“Bukankah hanya pengantin yang masih suci yang layak bersembunyi di balik cadar. Menanti dengan malu-malu saat suaminya membuka cadar,” kata-kata Xio Yu

masih menusuknya dengan tajam.

“Kau! Pelacur! Kamu telah menghancurkan masa depanku. Seharusnya aku tidaki perlu menikah denganmu. Semua ini karena rencanamu dan Thai Yang. Kalian berdua

telah menjebak aku dan Ting Ting. Tidakkah kau sadar, kamu telah menghancurkan kami?” Xio Yu menarik cadar Mei Li dengan kasar. Wajah Mei Li yang pucat dan

ketakutan tidak membuat Xio Yu kasihan.
“Simpan saja sandiwaramu itu! Aku akan membuat hidupmu menderita,” ucap Xio Yu dengan suara pelan dan menakutkan.

“Aku melakukan yang terbaik. Mereka telah menikah. Lagipula Thai Yang sangat menyayangi Ting Ting. Bagiku melihat Thai Yang bahagia sudah cukup,” suara Mei

Li pelan dan bergetar.
“Bagimu melihat Thai Yang bahagia sudah cukup? Kalau begitu mulai hari ini, kamu tidak akan pernah bisa melihat Thai Yang lagi. Bahkan kau tidak akan bisa

melihat siapapun lagi,” Xio Yu mendorong Mei Li dengan kasar.

Dia menarik untaian hiasan rambut di kepala Mei Li, tangannya melepaskan gaun merah yang terjahit erat di tubuh Mei Li dengan kasar. Mei Li berteriak

terkejut. Dia mencoba mendorong Xio Yu, namun tenaganya kalah jauh.

“Mengapa? Bukankah dalam jebakanmu kau telah kunodai? Bukankah ini hak istimewa dan satu-satunya fungsimu sebagai istri?” Xio Yu melemparkan sisa kain yang

melekat di tubuh Mei Li ke lantai. Mei Li baru menyadari akan ada haari-hari yang panjang dan menyedihkan dihadapannya.

====

Sejak pagi Mei Li harus duduk di dalam kereta kuda satu harian. Perjalanan panjang dari Desa Hun Nan menuju ibu kota sangat melelahkan. Xio Yu sama sekali

tidak mempedulikannya. Seorang pelayan setianya yang menemani dan melayani dia sepanjang perjalanan. Xio Yu juga tidak repot-repot menanyakan kenyamanannya

selama perjalanan.

Mei Li mengigit bibirnya dengan cemas, berapa lama lagi dia harus duduk di kereta kuda yang tidak nyaman ini. Sesekali dia menyibak tirai dan melihat ke arah

jalanan. Dia menatap kereta kuda milik Xio Yu yang indah dan mewah. Sepertinya Xio yu sudah memulai perang terhadapnya. Semoga saja Xio Yu tidak menyakiti

Thai Yang.

Mei Li tidak sempat cerpamitan dengan orang tuanya. Dia juga tidak sempat bertemu Thai Yang maupun Ting Ting. “Nona, eh .. nyonya Mei Li. Berapa lama lagi

perjalanan kita? Dan mengapa kita tidak ebrada di dalam kereta yang sama dengan Tuan Xio Yu?” tanya Jing Hui, pelayan pribadinya.

“Jangan bertanya, aku pun tidak tahu. Lagipula kau sudah tahu kalau Tuan Xio Yu sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini,” ucap Mei Li.
“Hanya orang bodoh yang tidak mau menikah denganmu Nyonya. Dan aku yakin, suatu saat Tuan akan menyukaimu,” ucapan Jing Hui sepertinya terlalu manis. Namun

Mei Li yakin, suatu saat itu tidak akan pernah datang.

Kereta mereka berhenti, Mei Li menyibak tirai dan menatap rumah besar berwarna bata yang berada di depan. Suara Xio Yu terdengar memberi perintah. Mei Li

sadar kalau mereka telah tiba di kediaman Xio Yu, penjara baru baginya.

“Turun!” ucap Xio Yu. Mei Li melangkah turun dengan pelan, tidak ada tangan lembut yang membantunya turun. Tatapan mencemooh dari Xio Yu terasa menyakitkan.

“Kenapa? Nona besar tidak bisa turun sendiri?” ucapnya lagi.

“Bawa semua barang masuk. Siapkan perlengkapanku. Aku akan menghadap Raja,” Xio Yu memerintahkan pelayan dan anak buahnya.
“Tuan Xio Yu, kami telah menyiapkan kamar anda dan juga telah menyiapkan makanan untuk menyambut Nyonya,” ucap kepala pelayan. Tangan Xio Yu mengibas pelan.

Dia menatap Mei Li sesaat.

“Tidak perlu pesta penyambutan,” ucap Xio Yu.
“Bukankah sebelum Tuan menuju Desa Hun Nan, Tuan berpesan untuk menyiapkan pesta untuk pengantin Tuan?” tanya kepala pelayan itu lagi.

“Bukan dia pengantin yang ku inginkan. Tempatkan dia di gerbang Biru. Dan pastikan dia tidak pernah keluar dari gerbang Biru. Dia tidak boleh keluar dari

gerbang Biru tanpa perintah dan persetujuanku,” Mei Li seakan disambar petir saat mendengar perintah Xio Yu.

“Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi hari ini. Segera bawa dia pergi. Siapkan segala kebutuhannya dan jangan membuat aku kesal lagi. Pertemuan dengan Raja

lebih penting daripada mengurusi hal-hal tidak berguna ini,” Xio Yu bergegas meninggalkan Mei Li yang menahan tangis.

Semua pelayan menatap Mei Li dengan bingung. Mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa terhadap pengantin tuannya. “Maafkan aku Nyonya, kami harus membawa

anda menuju gerbang Biru,” Mei Li menegakkan punggung dan berjalan dengan anggun. “Silahkan tunjukkan jalan,”

“Semua kebutuhan Nyonya telah tersedia disini, kami mohon Nyonya tidak keluar dari gerbang Biru kalau tidak kami akan mendapat hukuman dari Tuan Xio Yu,”

ucap kepala pelayan.
“Aku mengerti, kalian hanya menjalankan tugas.” Mei Li melihat punggung para pelayan meninggalkan gerbang biru.

Dia menutup pintu kamarnya dan duduk termenung sendiri. Matanya menerawang ke langit-langit. Gerbang Biru, yah … bagian selatan rumah ini memang semuanya

berwarna biru langit. Tamannya kecil dan sempit. Kamarnya juga tidak terlalu terang dan hangat. Mei Li sadar, dia ditempatkan di bagian terburuk dari rumah

itu. Penjara birunya yang dingin.

==============

Sendiri

Ting Ting melempar pandangan ke sekeliling halaman sekolah. Dia merasa kesepian. Hanya dalam beberapa hari hidupnya berubah drastis. Seakan dia terjun bebas

dari langit dan terhempas ke dalam gulungan ombak besar.

Dulu, sekolah ini adalah ide Mei Li. Ide cemerlang untuk mempertemukan dia dan Xio Yu. Sekarang setelah terpaksa menikah dengan Thai Yang, Ting Ting juga

harus menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya, Xio Yu telah menodai sahabat baiknya. Dan mereka berdua telah pergi meninggalkan dia yang semakin kesepian di

sini.

Thai Yang mencoba menghiburnya setiap hari, namun dia belum bisa menerima Thai Yang. Andai saja Thai Yang tidak memaksakan pernikahan ini dan menerima Mei Li

tentunya tidak akan menjadi seperti ini. Atau, Xio Yu memang bukan pria yang baik? Mengapa dia tega menodai Mei Li?

“Cuaca sangat dingin, aku membawakan kamu mantel bulu,” Ting Ting menatap Thai Yang. Sebuah mantel bulu berwarna putih membungkus tubuhnya kini. Namun rasa

dingin di dalam hatinya tetap tidak bisa hilang. Ting Ting kembali tenggelam dalam lamunannya. Dia tidak pernah menyadari kalau Thai Yang terus berdiri di

sampingnya, menemani dia dalam kebisuan.

===

Kalau orang-orang mengatakan dirimu sangat beruntung, memiliki semua yang diinginkan oleh orang lain – maka mereka salah. Aku memang beruntung bisa menikah

dengan gadis yang sangat kucintai dan baik hati. Tapi dalam pernikahan kami, Dewa lupa menyertakan cinta dari istriku. Cintanya telah dibawa lari oleh

seorang pria yang ku anggap sahabat baik.

Aku tidak pernah menyadari kalau mereka saling jatuh cinta. Sikap mereka layaknya kakak adik. Aku juga tidak merencanakan untuk mengirimnya jauh ke ibu kota

kemudian merebut kekasihnya. Bukan… itu bukan rencanaku.

Aku telah menetapkan hatiku dan berharap cintaku terbalas. Tidak pernah ada tipu muslihat licik untuk mendapatkan pernikahan ini. Semua yang kulakukan sedah

sesuai dengan tradisi yang ada. Meminta persetujuan dari orang tuanya dan mengirimkan mak comblang untuk melamar. Tapi kesalahan fatalku adalah aku lupa

bertanya pada calon pengantinku.

Sekarang aku berada di sisinya. Duduk didekatnya, berada satu ranjang dengan istriku, merasakan panas tubuh dan nafasnya. Namun aku tetap merasa dingin dan

sendiri.

Dia bernafas, berjalan, tersenyum, berbicara namun lebih mirip sebuah patung. Dia akan bergerak sesuai perintahku, melayaniku sesuai kodratnya sebagai

seorang istri. Namun dia tidak membiarkan aku mengisi jiwanya.

===

Hari ini para pelayan nampak sibuk mempersiapkan ruang tengah. Mereka juga menganti bunga segar di dalam pot. Dapur belakang tampak lebih heboh dari

biasanya. Ting Ting mencoba mencari tahu, apa yang sedang terjadi.

“Ada acara apa?” tanyanya. Seorang pelayan membungkuk dan segera pergi dalam diam. Ting Ting kembali menyusuri rumah barunya itu. Semakin dilihat semakin

aneh kelakuan pelayan hari ini. Mereka diam dan tersenyum penuh arti.

Akhirnya Ting Ting menyerah dan melanjutkan membaca buku pengobatan yang baru diberikan oleh Tetua Ong. Ting Ting memang sudah lama belajar tentang ilmu

pengobatan kepada Tetua Ong. Dia mempelajari berbagai jenis ramuan obat dan teh tradisional. Namun dia belum berani mencoba akupuntur. Baginya tusuk jarum

terlalu beresiko dan untuk mempelajarinya perlu keahlian lebih dari sekedar berminat.

Ting Ting membiarkan para pelayan sibuk dengan kegiatan mereka. Sementara dia tenggelam dalam lautan tulisan.

===
Ting Ting terkejut saat Thai Yang masuk ke kamar mereka sambil membawa seikat bunga rumput yang indah. Dia semakin tak dapat berkata-kata ketika sebuah

lukisan wajahnya diletakkan di meja rias. “Ada apa?” ucapnya pelan.

“Hari ini usiamu genap dua puluh tahun,” ternyata Thai Yang tahu mengenai hari kelahirannya. Sebenarnya Ting-Ting bahkan lupa akan hari kelahirannya.

“Kau?” Thai Yang tersenyum menjawab pertanyaan Ting Ting.
“Yah, aku telah bertanya kepada saudarimu,” ternyata semua kehebohan yang terjadi di rumah ini telah terjawab.
“Semua ini?” seakan sudah mengerti pertanyaan Ting Ting, Thai Yang mengangguk dan memerintahkan pelayan membawa masuk makanan.
“Atau kamu lebih suka kita makan di taman?” tanyanya lagi. Ting Ting mengangguk, dia ingin menikmati hari ini. Hari yang istimewa, membiarkan hatinya sedikit

terbuka untuk suaminya.

Ternyata membiarkan sedikit celah terbuka bukanlah hal yang buruk. Hatinya yang kesepian sedikit merasa hangat dan gembira. Setelah makan bersama di taman

yang indah, Thai Yang meminta beberapa pelayan untuk memainkan sebuah lagu untuk Ting Ting. Para pelayan juga memberikan sebuah lukisan kupu-kupu yang indah.

Mereka merasa Ting Ting begitu baik kepada mereka, karena itu sudah seharusnya mereka membalas kebaikan Nyonyanya.

Hari itu diisi dengan canda dan tawa. Thai Yang gembira melihat istrinya tersenyum ceria. Berbagi cerita dan canda bersama para pelayan dan dirinya. Sesekali

dia melihat Ting Ting menatap ke arahnya. Sebuah senyum terima kasih menghiasi wajah istrinya tercinta. Dan Thai Yang bersyukur, dia bisa membuat Ting Ting

sedikit ceria.

====

Mei Li menaruh sepiring kue kacang di meja kamarnya. Kue kacang yang didapatkannya setelah memohon kepada kepala pelayan untuk memperbolehkan dia memasak kue

itu di dapur. Mei Li mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Dia tidak terlalu pandai menulis, tapi hari ini dia sedang ingin mencurahkan isi hatinya

dalam selembar kertas bisu.

Kesendirian bukanlah hal yang bisa dia terima. Sedari kecil dia telah hidup dalam keceriaan dan kebersamaan. Dia dibesarkan dengan cinta dan segala kemewahan

yang diberikan oleh keluarganya. Selain itu dia memiliki Ting Ting yang selalu menemani dan mengerti isi hatinya.

Namun hari ini, genap dia berusia dua puluh. Hari ini, pertama kalinya dia tidak merayakan hari kelahirannya tanpa Ting Ting. Biasanya mereka akan membuat

kue kacang, kesukaan mereka. Kemudian membawanya ke kuil untuk memanjatkan doa. Terakhir, mereka akan menghabiskan hari itu dengan bercerita mengenai

hari-hari yang lalu dan rencana masa depan.

Mei Li mengambil lima batang hio, dan memanjatkan doa di langit terbuka. Dia tidak bisa pergi ke kuil untuk memanjatkan doa, karena dia tidak bisa keluar

dari gerbang biru. Pelayan setianya memandangi punggung Mei Li dengan sedih. Dia merasa berduka atas semua luka yang dialami Nonanya.

Belum selesai Mei Li memanjatkan doa, suara Xio Yu yang keras terdengar di sepanjang lorong. Xio Yu mendorong Jing Hui yang berusaha menghalangi Xio Yu. Mei

Li tetap tidak bergeming, dia masih khusyuk memanjatkan doa. Sementara itu Xio Yu dengan kasar menarik tangan Mei Li. “Apa yang kamu kerjakan? Membuat

dapurku menjadi berantakan?”

“Aku hanya memasak,” sahut Mei Li dengan ketenangan yang entah dari mana datangnya. Xio Yu menatapnya dengan kesal. Dia adalah juru masak, maka dari itu dia

sangat menghargai dapur dan segalan perlengkapan memasaknya. Dia tidak pernah memperbolehkan orang lain menyentuh pisau dapurnya, dapur pribadinya.

“Mengapa tidak kau gunakan dapur di gerbang Biru ini?” tanya Xio Yu dengan kekesalan yang memuncak.
“Tidak ada bahan dan peralatan yang memadai untuk memasak,” Xio Yu tidak percaya perkataan Mei Li.
“Sebenarnya mahakarya seperti apa yang sedang kau masak?” tanyanya dengan nada mencemooh.

“Aku hanya membuat kue kacang,” jawaban Mei Li membuat Xio Yu tertawa terbahak-bahak.
“Kau membuat kue kacang, dan menghancurkan dapurku!” tanyanya lagi dengan tidak percaya.
“Sebegitu pentingnya kah kue kacang sialan ini?” Xio Yu menarik piring di atas meja dan melemparkannya ke rumpun tanaman.

Mei Li berlari, berusaha menyelamatkan kue kacang buatannya. “Kue kacang yang tidak berbentuk. Bahkan kucing pun tidak akan memakan kue kacang itu,” Xio Yu

kembali melemparkan cercaan pada Mei Li.
“Yah, kue kacang buatanku memang tidak indah dan enak. Tapi, aku tahu pasti ada seseorang yang dengan tulus memuji dan memakan kue kacang ini,” Mei Li

membersihkan kue kacangya.
“Dan orang itu adalah orang yang bodoh!” sahut Xio Yu.

“Ting Ting selalu suka makan kue kacang buatanku. Kami menghabiskan satu harian untuk bersenang-senang dan makan kue kacang. Yah, hari ini adalah hari bebas

untuk kami. Tidak peduli apa kata orang lain ataupun orang tua. Kami akan membuat kue kacang dan memakannya bersama sambil bercerita,” Xio Yu terdiam saat

Mei Li mengucapkan nama kekasihnya.

“Apa hubungan Ting Ting, kue kacang dan hari ini?” tanya Xio Yu.
“Rahasia,” ucap Mei Li pelan. Kemudian dia berlalu dan masuk ke dalan kamar. Jing Hui segera mengikuti Mei Li. Belum sempat dia mengunci pintu, Xio Yu

terlebih dahulu menahan daun pintu dan menyuruhnya pergi.
“Aku tidak suka kamu merahasiakan sesuatu dariku! Aku suamimu!” teriak Xio Yu.

“Tapi rahasia tetaplah rahasia. Bila rahasia telah terbuka, maka bukan rahasia namanya. Bahkan orang tolol pun tahu tentang itu,” Mei Li telah mendapatkan

kembali sedikit keberaniannya. Dia tidak akan selamanya dicaci, dia akan menjalankan tugas sebagai istri tapi bukan budak.
“Ingatlah, suamimu adalah yang selalu benar. Tidak boleh kamu bantah! Aku berhak atas seluruh hidupmu,” Xio Yu menarik tangan Mei Li dan mulai mendaratkan

ciuman-ciuman kasar.

“Aku berhak atas jiwa, hati dan tubuhmu. Itu hak istimewaku,” Mei Li memucat namun pasrah.

====
Pertemuan tak terduga.

Thai Yang melepaskan jubahnya dan menatap Ting Ting. Sudah seminggu ini sikap Ting Ting semakin terbuka padanya. Mereka mulai bisa berbicara dengan wajah

yang tersenyum, bukan lagi wajah yang memakai topeng istri yang baik. Ting Ting telah menjadi sahabat baik lagi. Hanya saja Thai Yang berharap mereka bisa

meningkatkan status menjadi sepasang suami istri secepatnya. Sebagai pria normal, dia tidak dapat menahan lagi gejolak untuk segera memiliki istrinya. Walau

hatinya berkata, dia akan menunggu istrinya siap.

====

Sebuah surat dari Sang Raja tiba. Thai Yang kembali mengenakan jubah dan berlari dengan terburu-buru. Dia melihat Ting Ting juga segera berlutut untuk

menerima titah Sang Raja. Sebuah undangan untuk menghadiri acara pengangkatan selir ke 99 sang Raja.

Raja Qin memang raja yang sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat, dia juga raja yang baik. Hanya saja kebiasaan dan kegemarannya mengoleksi wanita cantik

tidak dapat terbendung. Setiap wanita cantik yang memikatnya selalu diambil menjadi istri. Suka ataupun tidak.

===

“Thai Ke akan berangkat ke ibu kota?” tanya Ting Ting sambil membereskan pakaian yang akan dibawa oleh suaminya ke ibu kota.
“Hanya beberapa hari,” Thai Yang terdiam sejenak.
“Bagaimana kalau kamu ikut denganku ke ibu kota? Kau dapat menikmati indah dan ramainya ibu kota selama aku menyelesaikan urusanku di Istana,” Thai Yang

melihat Ting Ting tersenyum ceria.

“Bolehkah?” tanya Ting Ting.
Thai Yang memegang pundak istrinya dan tanpa disadari dia mengecup kening Ting Ting. “Aku akan melakukan apapun agar kamu gembira. Bila meninggalkanmu

sendirian di sini membuat suasana hatimu tidak tenang, bukankah lebih baik kau terus berada di dekatku. Dengan begitu aku bisa mencari dan mengupayakan

kecerian di wajahmu,” Ting Ting merona. Ada sesuatu yang merambat naik, terus naik ke dalam hatinya. Dan sepertinya semakin hari semakin penuh dan

menyesakkan.

“Mintalah pelayan untuk membantu kamu berkemas. Besok pagi kita segera berangkat. Aku akan memerintahkan pelayan mempersiapkan kereta kuda untukmu,” Thai

Yang kembali mengambil kesempatan untuk mengecup pipi istrinya. Dia melihat semburat merah tipis menghiasi pipi putih mulus.

===

“Masih begitu jauhkah ibu kota?” tanya Ting Ting kesekian kalinya saat Thai Yang berkuda di samping kereta. Thai yang mengangguk dan mengulurkan sebuah

kantung minum kepada istrinya.
“Sebaiknya kamu beristirahat dulu. Setelah kita tiba di ibukota, aku pasti membangunkanmu.” Ucap Thai Yang.

“Maaf Tuan Thai Yang, sebenarnya Nyonya sedikit pucat. Perutnya sakit,” ucap pelayan Ting Ting. Segera saja Thai Yang menghentikan gerak pengawalnya. Dia

melompat dari kuda dan mendekati Ting Ting.
“Sejak kapan kamu kesakitan? Mengapa tidak memberi tahu?” Thai yang mengendong Ting Ting dari kereta.

Tangannya menenangkan istrinya. Dia memberi Ting Ting air putih. “Sebaiknya aku segera mencari tabib untukmu,” tangan Ting Ting menahan Thai Yang.
“Sebenarnya setiap bulan aku mengalami sakit seperti ini. Biasanya setelah minum obat yang diberikan tetua Ong dan teh merah hangat akan segera baikan,”

pelayan Ting Ting segera membawakan obat dan memberikan pada Thai Yang.

“Sebaiknya kamu segera mencari air panas untuk menyeduh teh hangat,” Thai Yang terus menemani dan mencoba mengurangi sakit yang diderita Ting Ting.
“Aku telah menghambat perjalananmu,” ucap Ting Ting.
“Tidak masalah, lagipula acaranya akan dimulai lusa pagi. Kita masih bisa tiba tepat waktu.” Thai Yang memetik sebuah bunga rumput dan menghiasi rambut Ting

Ting.

“Mengapa bunga rumput?” tanya Ting Ting. Thai Yang memetik setangkai bunga rumput berwarna putih dan meletakkan di telapak tangan istrinya.
“Kamu tegar seperti bunga rumput. Walau terlihat rapuh, kamu lebih kuat daripada yang aku kira. Kamu manis dan cantik dalam kesederhanaanmu,” Ting Ting

merasakan pipinya bersemu merah saat Thai yang berkata seperti itu.

Entah apa yang harus diucapkannya. Semua kata-kata seakan hilang dari otaknya. “Terima kasih, aku tidak pernah berpikir kamu menilai aku seperti itu,” Ting

Ting segera memanggil pelayannya yang telah menyeduh dua cangkir teh merah.

====

Suasana pasar besar terlihat sangat meriah. Beberapa lampion menghiasi gerbang utama menuju ibu kota. Ting Ting terpesona dengan keceriaan ibu kota. Beberapa

kali dia bertanya kepada Thai Yang mengenai bangunan-bangunan indah yang menghiasi setiap sisi jalan. Thai Yang hanya tersenyum dan menjawab dengan sabar.

“Aku belum pernah keluar dari desa Hun Nan,” Ting Ting mencari alasan dari sikapnya yang terlihat kekanakkan. Dia meminta ijin untuk melihat-lihat pasar

sementara Thai Yang membereskan masalah pemerintahan di Istana.
“Apapun untukmu cintaku. Tapi berjanjilah, kamu akan tetap berada di dekat Ta Niu,” Thai Yang mengisyaratkan agar Ta Niu menjaga Ting Ting dengan baik.

Keduanya berpisah di pasar besar. Thai Yang beberapa kali berbalik untuk menatap Ting Ting. Dia sebenarnya cemas dengan keselamatan istrinya, tapi rasa

antusias dan keceriaan dari Ting Ting membuatnya tidak tega menolak permintaan kecil itu.

Ting Ting berjalan di sepanjang jalanan pasar besar. Matanya menatap beberapa hiasan rambut yang akan terlihat cantik di rambut berombak milik Mei Li. Tanpa

dia sadari tangannya memilih beberapa hiasan berwarna merah jambu, warna yang selalu cocok dengan Mei Li. Setelah membayar beberapa keping perak, dia segera

berjalan lagi.

Ta Niu berusaha terus memperhatikan Nyonya Ting Ting dari kejauhan. Dia tidak ingin menganggu keasyikan Nyonyanya.

Ting Ting berhenti disebuah kedai kecil yang mengingatkannya pada kedai tahu milik Xio Yu. Dia memesan semangkuk kembang tahu dan duduk menikmatinya dalam

lamunan.

“Sepertinya wajahmu sangat sendu Nona,” suara dari samping tempat duduknya membuyarkan lamunan Ting Ting. Ting Ting tersenyum dan mengangguk memberi salam.

Dia tidak ingin berbicara dengan siapapun. Pelayannya segera berdiri di samping Ting Ting.

Ting Ting mengamati pria itu. Bajunya sangat bagus dan mahal. Tutur katanya halus dan sopan. Mungkin pria ini adalah salah seorang pejabat atau mungkin

pelajar yang sedang singgah.

“Kalau saya boleh tahu apa yang membuat Nona begitu sedih? Nona tidak bisa membohongi saya, saya bisa menilai dari mimik wajah Nona,” Ting Ting tidak

menjawab pertanyaan sang Pria.
“Perkenalkan nama saya Kim Lung, bolehkah saya tahu nama nona?” tanyanya dengan sopan.
“Nona bukan penduduk ibu kota? Karena saya tidak pernah melihat gadis secantik Nona sebelum ini,” Ting Ting mulai merasa tidak nyaman. Dia memberi tanda

kepada pelayannya untuk segera mencari Ta Niu.

Tidak perlu lama, Ta Niu segera mendekat dan mencoba menolong Nyonya-nya. Ta Niu terkejut saat melihat pria yang mengenakan pakaian berwarna emas dan merah

itu. Dia membungkuk penuh hormat dan saat hendak membuka mulut, pria itu segera menyuruhnya diam.

“Yang mulia,” ucap Ta Niu pelan. Ting Ting seakan tidak percaya dengan pendengarannya. Dia telah bersikap tidak sopan dengan sang Raja. Dia segera

menghaturkan hormat, namun kembali sang Raja mengisyaratkan agar mereka tetap berada dalam posisi masing-masing.

“Saya keluar Istana untuk menikmati ketenangan sejenak. Jadi saya tidak ingin identitas saya sampai terbuka dan membuat keributan. Ta Niu, sedang apa kamu di

sini? Bukankah seharusnya kamu bersama Thai Yang?” tanya Sang Raja.
“Saya diperintahkan Tuan Thai Yang untuk menjaga Nyonya Chen,” jawab Ta Niu dengan hati-hati. Dia telah mencium ada yang tidak beres dari tatapan mata sang

Raja. Dia harus segera mencari cara untuk membawa Nyonya-nya pulang.

“Kami harus segera undur diri Yang Mulia. Tadinya, kami hanya membeli obat dan teh merah untuk mengobati sakit perut Nyonya Chen. Saya takut Nyonya masih

tidak enak badan,” Ta Niu memberanikan diri memberi alasan. Dia terlihat lega saat Ting Ting mengerti rencananya untuk segera pergi.

Ting Ting terlihat berusaha berpura-pura terlihat sakit. Dia segera berdiri dengan bantuan pelayannya. “Saya meminta maaf atas ketidak sopanan dan ketidak

tahuan saya mengenai Yang Mulia.”
“Saya juga merasa sangat bersalah harus segera pergi. Tapi rasanya kepala dan perut saya masih tidak terlalu enak,” Ting Ting mencoba menyamakan alasan

dengan Ta Niu.

Sang Raja segera berdiri dan membantu Ting-Ting. “Sudahkah kau siapkan kereta kuda?” tanya sang Raja kepada Ta Niu. Ta niu mengangguk.
“Senang berjumpa dengan anda Nona yang cantik. Saya harap kita dapat bertemu lagi, segera,” ucapan Sang Raja membuat Ting Ting merinding ketakutan. Dia

segera naik ke dalam kereta. Menutup tirai dan memerintahkan Ta Niu untuk membawanya pulang secepatnya.

Sementara di seberang kedai kecil, seorang pria nampak mengerahkan segenap kemampuan penglihatannya. Dia berusaha mencari tahu siapa wanita yang terlihat

begitu dikenalnya. Suara tawa dan rayuan wanita-wanita di sampingnya tidak lagi terasa indah. Mungkin karena terlalu mabuk dan rindu pada kekasihnya dia

berhalusinasi.

Selir Ke 99

Ta Niu bergegas menemui Thai Yang di ruang kerja. Tanpa menunggu perintah dia membuka pintu dan memberi hormat. Thai Yang tidak pernah melihat wajah Ta Niu

yang begitu cemas, “ada hal apa yang membuat kamu melupakan sopan santun,” goda Thai Yang.

“Apakah kau menemukan gadis pilihanmu Ta Niu? Tenang, aku pasti akan membantu melamarkannya untukmu,” Thai Yang masih tidak mempedulikan wajah Ta Niu yang

berbeda dari biasanya.
“Tadi kami bertemu dengan Yang Mulia Raja,” ucap Ta Niu.

“Pantas saja aku tidak bertemu dengannya di istana. Yang Mulia memang sangat suka menyamar menjadi penduduk biasa,” sahut Thai Yang.
“Tuan Thai Yang kau masih ingat bagaimana tatapan matanya saat menginginkan putri Cin Zhu?” Thai Yang berhenti menulis dan memperlihatkan wajah serius.

“Ada apa dengan kakakku?” tanya Thai Yang lagi.
“Bukan, tidak ada masalah dengan putri Cin Zhu. Yang menjadi masalah adalah,” Ta Niu berhenti sejenak.
“Aku berharap penilaianku salah kali ini. Tatapan mata itu kembali terlihat saat Yang Mulia menatap Nyonya Ting-Ting,” seketika itu juga tangan Thai Yang

menjadi lemas. Dia menatap Ta Niu dengan ribuan pertanyaan.

“Jadi, tadi Yang Mulia sempat bertemu dengan Ting Ting?” pertanyaan Thai Yang dijawab dengan anggukan kepada Ta NIu.
“Mereka bertemu di kedai tahu,” ucap Ta Niu.
“Lagi-lagi kedai tahu. Aku berharap semua kedai tahu menghilang dari dunia ini. Mengapa semua masalah selalu berhubungan dengan kedai tahu?” Thai Yang

mencoba berpikir.
“Semoga saja tidak seperti yang kita takutkan,” Thai Yang berharap.

====

Tiba-tiba saja rumah kediaman keluarga Chen menjadi ramai. Thai Yang mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Dia mengetahui dari salah seorang pelayan bahwa

kedua orang tuanya baru saja pulang dari perjalanan ke Shanghai. Ayahnya Chen Hai Lou adalah penasehat kiri sang Raja. Sedangkan ibunya masih bersaudara

dekat dengan ibu Suri, ibunda dari Raja.

Thai Yang hanya memiliki seorang kakak perempuan. Dia tidak memiliki saudara lelaki, tapi sepupu-sepupunya sering berkumpul di rumahnya. Kedua orang tuanya

adalah orang tua yang sangat sayang dan perhatian dengan anak dan kerabat.

Thai Yang menghanturkan salam hormat kepada kedua orang tuanya. Di sampingnya Ting Ting juga melakukan hal yang sama. Bahkan Ting Ting telah meminta pelayan

menyiapkan teh untuk keduanya. Saat mereka baru saja hendak masuk ke dalam ruang tengah, seorang pelayan mengumumkan kedatangan Selir ke Lima.

Cin Zhu turun dari tandu dan segera memeluk ibunya. Sifatnya seketika berubah menjadi anak yang manja saat berada di rumah orang tuanya. “Ibu, mengapa tidak

segera mengabari aku kalau kalian sudah tiba di ibu kota,” ucapnya.
“Ehem,” Thai Yang sengaja berpura-pura batuk.
“Ah, adikku yang cenggeng angin apa yang membawamu kembali ke rumah?” Cin Zhu sama sekali tidak menyadari Ting Ting yang berdiri di belakang Thai Yang.

“Bukankah suamimu, Sang Raja mengundangku untuk melihat koleksi terbarunya,” ucap Thai Yang. Mereka berdua memang terbiasa memperolok kegemaran sang Raja.
“Ah, bagaimana bisa aku lupa akan hal itu. Aku sendiri yang menyusun daftar tamu untuknya. Aku juga yang meminang selir ke sembilan puluh sembilan itu,” ucap

Cin Zhu.

“Gadis yang malang,” Cin Zhu menghela nafas sesaat.
“Maksudmu kakakku yang manis?” tanya Thai Yang.
“Dia gadis yang berambisi besar. Bermaksud menjadi kesayangan sang Raja, mengeser posisiku. Ayahnya, adalah Pejabat Ow. Yang mengurusi pertanian dan pangan,”

ucap Cin Zhu.

“Lalu mengapa kau mengatakan, gadis itu malang? Bukankah menjadi selir, memberinya kesempatan bagus,” sahut Thai Yang lagi.
“Yah, seharusnya. Tapi jangankan mengeser posisiku, menjadi selir saja dia belum resmi sang Raja sudah memiliki calon untuk selir ke seratusnya,” Cin Zhu

tertawa. Kedua orang tuanya hanya mengeleng melihat kelakuan kedua anak kesayangan mereka.

“Dari mana kau tahu wahai selir ke lima?” Thai Yang selalu memanggil kakaknya sebagai selir ke lima bila dia ingin mengejek atau mengodanya.
“Pada akhirnya, aku juga yang akan bertindak sebagai pelamar bagi setiap calon selirnya. Dan tadi aku mendengar Kasim Bing diperintahkan untuk mencari tahu

tentang keberadaan gadis manis yang ditemui sang Raja saat menyamar keluar istana. Sepertinya mereka mengatakan mengenai kedai tahu, mungkin gadis itu adalah

pelayan kedai tahu. Kalau hanya seorang pelayan, maka tugas Kasim Bing akan lebih mudah, dan mas kawinnya akan lebih murah,” Ting Ting begitu terkejut

mendengar ucapan selir ke lima. Cangkir teh yang dipegangnya terlepas dan pecah menghantam lantai.

Semua mata menatapnya, membuat dia semakin kelabakan. Tangannya segera memunguti pecahan cangkir. Untung saja Thai Yang segera memeluknya dan mencoba

menenangkan Ting Ting. Keduanya mengetahui dengan pasti apa sebab dari kelalaian Ting Ting. Thai Yang segera memerintahkan pelayan untuk membersihkan pecahan

cangkir dan menganti dengan teh yang baru.

“Astaga, aku sama sekali tidak melihat dia. Apakah ini gadis cantik yang memenjarakan hati adikku?” goda Cin Zhu. Ting Ting berusaha tersenyum, namun

pikirannya masih kalut.
“Maafkan kecerobohan saya tadi,” ucapnya sopan.
“Ah, tidak usah dipikirkan. Dulu saat aku sedang pusing dan marah, aku akan melemparkan beberapa cangkir atau piring. Melepaskan amarahku. Jadi sebuah

cangkir itu tidak akan membuat Ayah Ibuku marah,” Nyonya besar Chen tersenyum mendengar ucapan putri kesayangannya.

“Yah, tidak perlu dipikirkan Ting Ting. Sekarang lebih baik kita masuk dan menikmati teh.” Nyonya besar Chen berjalan mengikuti Tuan besar Chen menuju ruang

tengah.

====
Perayaan dilangsungkan di paviliun Bunga Angin, dinamakan Bunga angin karena diambil dari nama Selir ke 99, Hwa Fung. Semua makanan dan ruangan telah tertata

dengan rapi. Sang Raja dan Selir ke Lima duduk di kursi utama. Selir Hwa Fung duduk di samping kiri sang Raja. Beberapa Pejabat yang diundang menempati

tempat duduk yang telah disediakan.

“Hari ini Selir Hwa Fung resmi menempati paviliun Bunga angin, dia akan menjadi bagian dari Istana,” ucap Cin Zhu, selir ke lima.
“Saya mohon bantuan dan bimbingannya kakak Cin Zhu,” Selir Hwa Fung menghaturkan hormat yang disambut dengan tawa dan tepuk tangan sang Raja.
“Semuanya harus rukun dan saling membantu. Sudah, acara perkenalan sudah cukup. Lebih baik kita nikmati hidangan yang dibuat khusus oleh Juru masak istana,”

semua menunggu hingga sang Raja mengambil sumpit dan makan. Setelah itu baru mereka mulai mengambil sumpit.

Sambil mengunyah daging yang diambilnya sang Raja berkata, “aku tidak pernah bosan dengan masakan yang kau buat Pejabat Fung.” Mata Thai Yang menatap Xio Yu

yang baru saja dipuji oleh sang Raja. Xio Yu duduk di barisan ke dua, empat meja dari dia. Itu artinya pangkat mereka sejajar.

“Aku lupa dengan nama masakan ini,”
“Jamur hati Sepasang rusa,” Xio Yu mengucapkan nama masakan itu sambil menatap Thai Yang.
“Aku ingin kamu menceritakan kisah masakan ini padaku sekali lagi,” ucap sang Raja tanpa memperhatikan tatapan mata Xio Yu yang seakan-akan dapat membunuh

Thai Yang.

“Masakan ini aku buat dengan bantuan kekasihku. Semua cinta,impian dan harapan kami, kami titipkan pada rasa dan kelezatan perpaduan antara jamur berbentuk

hati ini dan daging rusa yang empuk. Jamur ini adalah jamur yang kami cari berdua di hutan desa Hun Nan. Pertemuan terakhir kami sebelum aku berangkat ke ibu

kota.” Sang Raja terlihat sangat menikmati cerita Xio Yu, sementara Thai Yang tidak tahu harus bersikap seperti apa.

“Desa Hun Nan, hem. Bukankah itu daerah perbatasan yang kau pimpin pejabat Thai Yang?” sang Raja mengarahkan tatapan kepada Thai Yang. Thai Yang mengangguk.
“Kalau begitu seharusnya kamu mengenal Pejabat Fung?” Thai Yang kembali mengangguk.

Cin Zhu melihat ada aroma perselisihan antara kedua pejabat muda itu. Dia segera membuka mulut untuk mengalihkan pembicaraan, “Yang Mulia, bukankah Selir Hwa

Fung bisa memainkan kecapi. Bagaimana jika kita meminta dia memainkan satu buah lagu kesukaanmu,”
Ternyata tak tik Cin Zhu berhasil. Raja segera memerintahkan Selir Hwa Fung memainkan lagu ‘Irama Laut’

Perhatian kembali terpusat kepada Selir Hwa Fung. Perayaan pun berjalan dengan baik. Hanya saja Thai Yang dan Xio Yu tenggelam dalam pikiran mereka

masing-masing.

====
Selir ke Lima dan calon Selir baru
==================================================

Matahari belum lagi mekar sempurna dan Paviliun Bunga angin juga masih tampak sepi. Namun sang Raja telah duduk di kursi taman. Memandangi bunga teratai

putih yang anggun. Dia masih ingat jelas wajah Ting Ting, yah .. itu nama gadis yang ditemuinya di kedai kecil.

Kasim Bing menghaturkan hormat. “Sudah kau dapatkan informasinya?” ucap Raja dengan tidak sabar.
Kasim Bing mengangguk, “dia adalah istri dari Pejabat Thai Yang. Mereka baru saja menikah. Dan dia berasal dari desa Hun Nan,”
“Brengsek!” umpat Sang Raja.

“Bunga yang indah dari desa Hun Nan, seharusnya aku sering-sering berkunjung ke desa itu,” ucapnya dengan pandangan menerawang jauh.
“Yang Mulia, bukankah itu berarti dia masih kerabat Selir Cin Zhu?” Sang Raja terlihat baru menyadari maksud dari ucapan Kasim Bing.
“Lagipula hal ini dapat membuat perselisihan antara Yang Mulia dan Penasehat serta Pejabat Thai Yang,” tambah Kasim Bing.

“Tapi aku tidak peduli. Panggil Pejabat Thai Yang ke ruang kerja pribadiku sekarang juga,” Sang Raja meninggalkan Paviliun Bunga Angin dengan langkah yang

cepat. Sementara itu Selir ke sembilan puluh sembilan terlihat menangis. Bahkan gaun merahnya saja belum dibuka. Raja telah meninggalkannya.

===

Thai Yang berlari kecil setelah menyerahkan kudanya kepada petugas istal kuda istana. Ada apa gerangan sehingga Raja memanggilnya. Apakah ada urusan yang

sangat mendesak? Bahkan matahari pun belum bersinar penuh. Apakah urusan yang tidak bisa ditunda hingga pagi hari.

Dia mengetuk pelan pintu kerja Raja, memberi salam hormat dan menunggu Raja mempersilahkan dia masuk. Sekali lagi Thai Yang berlutut dan menjura hormat.

“Yang Mulia, hamba siap melayani,” ucapnya.

“Kau tahu benar kalau aku selalu benar. Dan kau juga tahu kalau seluruh daratan ini adalah milikku.” Thai Yang masih tidak mengerti arah pembicaraan Raja.

Apakah ada yang berencana mengulingkan Raja? Atau ada yang mempertanyakan kekuasaan Raja.

“Aku jatuh cinta pada seorang gadis. Sudah lama tidak pernah kurasakan perasaan seperti ini,” sang Raja kembali menatap ukiran patung gadis dan rembulan di

meja kerjanya.
“Dia seperti bulan yang indah. Kau tahu rasanya jatuh cinta?” tanya Raja. Thai Yang mengangguk.
“Dan aku ingin memilikinya,” Thai Yang merasakan keringat dingin mengalir dari setiap lubang di kulitnya saat Raja mengucapkan itu dengan sepenuh hati.

“Aku bukanlah orang yang bisa ditolak. Kata-kataku adalah perintah yang harus dipatuhi,” ucapnya lagi
“Saya belum mengerti maksud dari Yang Mulia,” ucap Thai Yang, walau dia sudah tahu kemana arah pembicaraan ini berlabuh.
“Aku menginginkan Ting Ting menjadi selirku,” ucapnya tegas.

“Tapi Yang Mulia telah memiliki segalanya,” Thai Yang tidak pernah dapat melepaskan Ting Ting kepada orang lain.
“Dia adalah bagian yang hilang. Aku telah lama mencarinya, dan aku yakin dia adalah potongan yang pas untuk pecahan hatiku,” ucap san Raja.
“Maaf, aku tidak pernah bisa menyerahkan dia kepada siapapun. Aku juga terlalu mencintainya,” ucap Thai Yang.

“Kalau begitu pikirkan kembali akibatnya.” Sang Raja menepuk pundak Thai Yang.
“Dia akan tetap menjadi milikku selama aku masih hidup. Hanya maut yang dapat memisahkan aku darinya,” Thai Yang mengepal erat jari-jarinya.

“Kau melawan perintah dari Rajamu?” bentak sang Raja.
“Untuk kali ini aku tidak bersedia menuruti perintahmu Yang Mulia,” sahut Thai Yang.
“Kalau begitu kau tahu akibatnya. Taruhannya adalah nyawamu,” sang Raja mengucapkan dengan pelan dan dingin. Namun Thai Yang tidak gentar.

“Baiklah kalau itu pilihan terakhirmu,” ucap sang Raja.
“Tapi aku meminta janjimu, Yang Mulia. Tidak boleh ada seorang pun dari keluarga dan kerabatku yang terseret dalam masalah ini. Dan aku menginginkan janjimu.

Setelah kematianku, Ting Ting berhak menetukan pilihannya sendiri,” rahang Thai Yang mengeras. Dia masih memikirkan masa depan orang tua, kerabat serta

kakaknya, selir ke lima.

“Dia pasti memilih menjadi selirku,” ucap sang Raja yakin.
“Persiapkan hatimu,” tambahnya dengan kepercayaan diri tinggi dan angkuh pada Thai Yang.

===

Selir ke Lima berlari dengan tergesa-gesa. Panggilan dari Ayah dan Ibunya tidak dia pedulikan. Dia segera menuju kamar Thai Yang. Didapatinya Thai Yang

sedang termenung menatap nyala lilin walau ruangan kamar telah terang benderang. “Kau menentangnya?” teriak Cin Zhu.

“Aku tidak ingin kau berakhir seperti King-ku,” tangis Cin Zhu meledak. Ting Ting yang masih bingung dengan kebisuan Thai Yang semakin bertambah pusing

melihat tangis kakak iparnya.
“Tidak, kau tidak boleh pergi seperti King,” teriak Cin Zhu.

“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi?” ucap Ting Ting. Cin Zhu menatap seakan tidak percaya, istri adiknya belum tahu pokok permasalahn ini.
“Dia akan mati seperti King-ku. Dia akan pergi menantang mautnya. Cegah dia,” teriak Cin Zhu memohon.
“Apa maksudnya? Aku akan membantu bila aku mengerti. Siapa itu King?” tanya Ting Ting lagi.

“Aku adalah gadis yang berbahagia saat King melamarku. Pernikahan kami sederhana namun indah. King, Meng Hui King adalah perwira muda. Dia tidak terlalu

tampan, namun badannya tegap dan kokoh. Adikku ini sering kagum dan ilmu pedangnya adalah warisan darinya.” Ting Ting semakin bingung ke mana arah cerita

ini.

“Ibu suri dan sang Raja yang merupakan kerabat dekat Ibuku, datang ke pesta itu. Dan aku, bahkan sampai saat ini masih membenci angin. Aku menyalahkan angin

yang meniup cadarku. Sang Raja menatap dan seketika itu juga memerintahkan aku menjadi selirnya. Selir Ke Lima,” ucap Cin Zhu lagi. Air matanya belum lagi

berhenti menetes.

Ting Ting merasa sedih mendengar cerita Cin Zhu. Bagaimana mungkin sang Raja begitu tega memisahkan pasangan itu. “King melawan dan memberontak. Dia dan aku

tidak ingin berpisah,” lanjutnya disela tangis yang belum mereda.

“Akhirnya pedang dan maut juga yang membuat kami terpisah. Aku terpaksa menikah dengan sang Raja. Aku membencinya hingga ke dasar tulangnya,” Ting Ting tidak

heran kalau Cin Zhu membenci sang Raja. Dia juga akan merasakan hal yang sama.

“Aku tetap harus bersandiwara demi setiap pasang kepala yang masih menempel di leher setiap anggota keluargaku. Dan ternyata sang Raja benar-benar menyukai

aku. Apalagi aku memberinya satu-satunya penerus tahta hingga saat ini. Aku merasa dia dikutuk oleh setiap wanita yang disia-siakannya, dia tidak pernah

memiliki anak laki-laki, kecuali dari rahimku. Begitu pula dengan permaisuri. Karena tidak dapat menahan duka karena tidak memiliki penerus tahta untuk sang

Raja, dia memilih untuk mendalami ajaran Dewi Kwan Im. Maka dari itu aku memiliki kekuasaan penuh sebagai Ibu dari Putra Mahkota,” ucap Cin Zhu dengan dagu

terangkat penuh kebanggaan disela isakan tangisnya.

“Lalu apa hubungan Thai Yang dengan King?” tanya Ting Ting.
“Kau belum mengatakannya?” teriak Cin Zhu.
“Apakah kalau kejadian dahulu dapat diulang kembali kau akan menyerahkan dirimu kepada Raja?” tanya Thai Yang panas.
“Aku rela, asal King selamat,” balas Cin Zhu.

“Apa? Tolong jelaskan padaku,” Ting Ting menghentikan perkelahian dua saudara.
“Raja menginginkanmu. Kamu, selir ke seratus,” ucap Cin Zhu.
“Dan dia telah memintaku untuk mengambil dirimu dengan cara apapun. Aku harus berbuat apa?” teriaknya lagi.

Ting Ting berhenti mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Dia mencoba memahami arti kata-kata Cin Zhu. “Benarkah itu Thai ke?” tanyanya. Thai Yang hanya membisu

dan menghantamkan tinju ke dinding yang tak bersalah.
“Aku tidak ingin kau mati karena diriku,” Ting Ting ketakutan. Thai Yang segera memeluknya dan mencoba memberinya kekuatan. Padahal di dalam tubuh dan

jiwanya segala kekuatan telah hilang tak berbekas.

“Pikirkanlah. Esok sore aku harus berada di sini untuk melamarmu,” ucap Cin Zhu.

“Aku tidak bisa menyerahkanmu pada Raja. Karena aku tidak rela kau menjadi milik orang lain. Aku terlalu mencintaimu. Ternyata aku tidak bisa menjaga kamu

dengan baik, cintaku telah mencelakaimu,” isak Thai Yang. Baru kali ini Ting Ting melihat suaminya begitu lemah.

“Aku telah berjanji dan bersumpah, hanya maut yang dapat memisahkan kita. Hanya saat aku mati saja kau bisa pergi dengan bebas,” ucap Thai Yang.
“Tidak, kau tidak boleh mati.” Ting Ting mengelus rambut Thai Yang.
“Aku akan menemui ajalku esok hari. Dan bila kamu memang menyetujui menjadi Selir Raja, maka saat aku telah terbujur kaku kau bebas dariku dan bisa menjadi

selir Raja,” Thai Yang mengecup tangan istrinya.

“Tidak, aku tidak mau kau mati karenaku. Aku ingin bersamamu, baik hidup maupun mati,” Thai Yang seakan tidak percaya dengan perkataan istrinya. Apakah itu

memang berasal dari dalam hatinya?
“Kai ingin bersamaku? Selamanya?” tanya Thai Yang.
“Ya,” jawab Ting Ting yakin.
“Kita akan mencari cara,” ucap Thai Yang seakan mendapatkan sedikit semangat. Berusaha meyakinkan istrinya. Dia semakin yakin kalau Ting Ting adalah pujaan

hatinya dan dia akan mencari jalan untuk menyelamatkan istrinya, apapun caranya.

Selir ke Lima menatap pasangan itu. Dia teringat dengan kenangannya. Akhirnya Selir ke Lima menarik kursinya dan berjalan keluar dari kamar Thai Yang. Namun

sesaat dia berhenti dan menatap Ting Ting yang memanggilnya. “Apakah kau mencintai suamimu sekarang ini?”

Dia mendekati Ting Ting dan berbisik padanya, “aku mencintai anakku. Dan dengan kedua tangan ini, aku akan membuat dia menjadi Raja. Dengan begitu maka

dendamku dan King akan terbalaskan. Tidakkah kamu berpikir mengapa kami melangsungkan pernikahan secara sederhana dan terburu-buru?”

bersambung ke 21

Sumber Cerita http://www.kemudian.com/node/228200 

Judul Asli :Pangeran Tahu dan Putri Ting-Ting

Sebuah cerita yg terinspirasi oleh puisi Ijasah SD (Ary Al Indonesia)http://www.kemudian.com/users/ijazahsd/200712/ohting-ting-kisah-cinta-jaman-dinasti-qin

One Response to “Perjuangan sang bunga matahari”

  1. pritha Says:

    Keren banget!lanjutannya mana nih?

Leave a comment